DULU, ketika masih di PGA (Pendidikan Guru Agama, setingkat SMA) sekitar tahun 70-an, pernyataan guru saya yang terus teringat oleh saya sampai hari ini adalah 'murid tidak bisa lebih hebat dari pada guru'. Salah seorang guru yang begitu saya kagumi, guru Mata Pelajaran (MP) Menggambar yang juga mengajar MP Bahasa Indonesia di kelas saya, Pak MN (sengaja saya tulis inisial saja.pen) adalah guru yang pernah mengingatkan saya tentang pernyataan itu.
Tentu saja saya tidak keberatan waktu itu. Apa lagi Pak MN adalah guru idola saya dikarenakan saya hobi menggambar dan dia adalah guru MP Menggambar . Jadi, saya mengidolakan dia karena begitu hebatnya dia membuat gambar di papan tulis atau di kertas gambar yang sudah tertempel di papan tulis setiap ada jam menggambar.
Jujur saja, sampai saya akhirnya mengambil Jurusan Bahasa Indonesia di Unri Pekanbaru --setemat PGA tahun 1977 itu-- adalah karena kekaguman saya kepada Pak MN yang juga adalah guru MP Bahasa Indonesia saya di PGA waktu itu disamping dia mengajar pelajaran menggambar. Waktu itu di Unri memang tidak ada Jurusan Seni, misalnya, andai saya ingin melanjutkan ke MP Menggambar yang saya suka di PGA itu.
Saya teringat, pada suatu kali pada saat MP Menggambar kami disuruh membuat gambar berupa huruf-huruf indah dalam bentuk huruf ghotish alias huruf Jerman. Saya berpikir kali ini saya akan mendapat angka di atas tujuh. Selama ini saya baru mampu mendapatkan angka enam lebih sedikit (6,3; 6,4; 6,6 atau 6,6). Belum pernah melebihi angka itu. Belum pernah mendapat angka enam koma tujuh atau koma delapan. Apalagi angka tujuh, ho ho tidak pernah. Padahal saya merasa dan saya melihat hasil karya saya adalah yang terbaik. Tentu saja menurut penilaian saya. Setiap jadwal pelajaran menggambar datang, saya selalu bergairah untuk mendapatkan angka yang lebih tinggi berbanding yang siudah saya dapatkan sebelumnya.
Karena hasil kerja hari ini --saya sudah berusaha membuatnya dengan ekstra hati-hati, bersih, wsarnanya serasa dan lebih rapi dari pada yang dia lukis di papan tulis itu-- hanya diberi angka 6,7 (enam koma tujuah) maka saya merasakan ada perasaan berontak dalam hati saya. Sebenarnya saya tidak terbiasa bertanya atau memprotes nilai-nilai yang diberikan guru, berapapun nilai itu anngkanya. Waktu itu tak ada murid yang berani bertanya apalagi membantah.
Tapi keramahan dan karakter kasih-sayangnya Pak MN membuat saya sedikit berani untuk bertanya, "Mengapa nilai saya hanya enam koma tujuah." Padahal saya sudah mengira dan berharap akan mendapat nilai lebih dari tujuh.
Tahu apa jawab Pak MN? Saya juga tidak tahu rekan-rekan saya mendapat nilai berapa karena buku gambar kami dibagikan secara pribadi. Diambil ke mejanya secara sendiri dan dalam keadaan tertutup. Saya jelas tidak tahu berapa nilai yang diperoleh rekan-rekan saya hari itu.
Tahu apa kata Pak MN? Pak MN enteng saja menjawab bahwa nilai saya itu sudah yang terbagus. Katanya itu nilai yang tertinggi di kelas ini. Dia mengatakan dengan tenang penuh wibawa, "Jika kalian mampu membuat gambar yang terbagus maka nilai yang akan saya beri adalah nilai tujuh. Tidak akan lebih," katanya dengan suara yang jelas dan penuh wibawa. Pak MN memang sangat jelas jika dia berbnicara. Mungkin karena dia adalah guru MP Bahasa Indonesia.
"Mengapa demikian, Pak? Apakah angka tujuah adalah nilai yang terbaik?" Saya mencoba bertanya dengan baik-baik juga.
"Buat murid, itulah nilai tertinggi yang akan saya beri," jelasnya lagi. "Mengapa? Karena nilai delapan adalah nilai saya. Nilai sembilan adalah nilai guru saya. Dan angka sepuluh adalah angka sempurna yang pantas buat Tuhan," katanya tenang. Wah, tentu saja saya terkejut. Selama ini saya tahu nilai terbaik adalah nilai angka sepuluh. Kalau dapat sepuluh berarti harus belajar lagi. Tapi kalau nilai itu hanya untuk Tuhan, bagaimana lagi?
Maka tentu saja tidak mungkin memperpanjang pertanyaan saya itu. Saya hanya bisa menerima saja. Rupanya murid tidak boleh lebih hebat dari pada gurunya. Itu saja yang saya camkan dalam hati saya. Jangan-jangan guru-guru berpikiran kalau murid ingin lebih hebat dari pada guru maka si murid itu adalah murid yang tidak sopan, tidak bermoral atau apa saja. Yang pasti, saya benar-benar tidak berpikir pernyataan guru saya itu adalah pernyataan yang keliru.
Kini, ketika saya sudah menjadi seorang guru ternyata saya tidak setuju dengan perinsip dan pernyataan guru saya itu. Justeru saya berpikir, para murid itu harus jauh lebih hebat dan lebih maju dari pada yang dicapai para gurunya. Itu tidak bisa dipungkiri.
Dalam dunia yang begitu kian maju, teknologi yang berkembang sangat cepat, sumber-sumber ilmu dan pengetahuan ada di mana-mana, dan kesempatan untuk memperolehnya begitu luas dan mudah, pastilah kehebatan seorang murid tidak lagi akan tergantung ke gurunya saja. Guru sudah lama tidak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu. Jadi, buat guru di era modern ini perinsip yang lebih tepat justeru 'murid harus bisa lebih hebat dari pada gurunya'. Perinsip ini tentu saja bukan karena kemauan si murid. Tapi jsuteru harus menjadi obsesi guru itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar