SUDAH lama Safro memelihara ayam. Ayam kampung. Sejak mertuanya berpulang dan meninggalkan peliharaan ayam, hampir tiga tahun lalu. Ketika sakit-sakitan, Pak Heru, mertuanya berpesan, ayam-ayam itu nanti diserahkan ke Safro untuk dipelihara. Sudah dua tahun ayam generasi pertama itu dipelahara Safro. Diberi makan, minum dan dibuatkan kandangnya. Dan beranak-pinak masuk generasi ketiga. Tapi selama itu, Tina, isteri Safro jarang ikut campur mengurusnya. Dari membuat kandang, memberi makan dst hanya Safro sendiri. Sibuk sendiri. Tina malah sering menajdikan keberadaan ayam itu sebagai bibit petengkaran.
Menjelang tahun ketiga, tiba-tiba saja Tina minta memotong ayam peliharaan Safro itu. Kebetulan menjelang tahun baru ini isteri Safro mau ngumpul adik-beradik. "Bang, tahun ini kita motong ayam. Dibakar, disop dan digoreng, dan lain lain. Kita makan bersama, malam tahun baru," kata Tina penuh semangat. Safro kaget. Tiba-tiba Tina bicara ayam. Safro hanya membelalakkan mata pertanda kaget.
"Abang jangan begitu. Itu kan ayam kita. Ingat dari mana asal-muasalnya." Tina tiba-tiba saja meradang. Suaranya seperti pakai loudspeaker. Apakah merasa bersalah meminta potong ayam yang selama ini dia tidak mau tahu? Bahkan pernah dia suruh antar kembali ayam itu ke rumah Maknya disebabkan ayam-ayam itu pernah masuk rumah dan BAB di lantai dapur. Sempat 'perang dingin' gara-gara ayam itu. Apakah Tina teringat itu? Masing-masing hanya menyimpan di hati. Tina memang sentimentil, orangnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar