MENDAPAT info dari medsos, akan ada lomba melukis untuk anak-anak di Cafe Mak Ucu, Jalan Lingkar itu Bu Tina langsung bersemangat untuk mengikutkan anak semata wayangnya, Ardi. "Anakku sudah TK, suka membuat gambar. Lagi pula, ini kedai makan orang kita, harus ikut berpartisipasi memajukannya. Dua sekaligus didapat, menambah kemampuan anak dan memajukan kedai dunsanak." Safro tersenyum saja mendengar ocehan Tina, isterinya. Safro mendengar juga kalau Mak Ucu lagi promosi kedai kopinya. Lalu dia buat lomba melukis buat anak-anak di warungnya. Targetnya, ya orang tua yang akan membawa anaknya sambil makan di situ. Lumayan, hati Safro juga berbunga seperti hati bininya.
"Jadi, kan, Bang? Pensil warna anak kita? Sudah dibeli, kan?" Tina kembali menanyakan permintaannya ke suaminya agar dibelikan alat-alat menggambar, termasuk pensil warna itu. Safro tidak menjawab. Hatinya kecut kembali seperti rumput putri malu tersenggol. Dia belum punya uang untuk itu. Kemarin untuk biaya pendaftaran dia meminjam uang temannya. "Bang, sudah, kan?" Suara Tina lebih tinggi mengulangi pertanyaan.
Tiga hari lagi lomba akan dilaksanakan. Pensil warna untuk Ardi belum juga kelihatan. Hati Safro semakin gundah. Mau membeli pakai apa? Pakai daun? Safro merasa darahnya menusuk dagingnya dari dalam badannya. Dia segan mau meminjam lagi ke temannya. Waduh, mampus aku, pekiknya tanpa suara. Kalau bini aku nanya lagi, aku mau jawab apa? Safro memacu motor bututnya ke arah Sememal, daerah ujung pulau yang paling jauh dari rumahnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar