Selasa, 09 Maret 2021

Menceburi Literasi, Mengajak Diri dan Teman Kanan-Kiri


USAHA mengajak orang agar mau menulis sejatinya harus ada pada diri setiap orang. Siapa saja orangnya. Dan mengajak menulis, seperti juga mengajak membaca atau mengajak melakukan kebaikan lainnya sejatinya adalah kewajiban pribadi setiap orang. Artinya sama juga dengan mengajak melakukan sesuatu kebaikan, itu memang diharapkan dilakukan oleh setiap orang. Malah itu perintah.

Seumpama kewajiban berdakwah dalam beragama, walaupun yang didakwahkan hanya sedikit saja, itu adalah kewajiban yang melekat kepada setiap orang beragama, khususnya Islam. Dalam agama Islam, ditegaskan dalam salah satu pernyataan Nabi (hadits) bahwa setiap umat wajib menyampaikan apa yang disampaikan Nabi walaupun itu hanya satu kalimat. Jika membaca dan atau menulis adalah satu kebaikan, maka itu berarti mengajak menulis itu adalah satu kewajiban.

Boleh saja dianggap tidak persis sama analogi ini bagi setiap orang. Maksudnya, tingkat kewajiban itu bisa saja tidak sama. Setidak-tidaknya pasti berbeda bagi setiap individu karena harus sesuai juga dengan pemahaman dan pengetahuan terhadap sesuatu yang akan didakwahkan. Jika berdakwah dalam makna sederhana dapat dilaksanakan siapa saja karena menyampaikan satu kalimat saja sudah berkategori dakwah dan itu adalah perintah, maka mengajak menulis dan atau membaca mungkin tidak sama juga tingkat keharusannya. Pasti akan dipengaruhi tingkat kemampuan seseorang itu.

Jika berdakwah secara sederhana dapat dilakukan oleh siapapun meskipun dengan kemampuan terendah dan sederhana juga, maka akan berbeda dengan mengajak menulis dan membaca yang ukurannya bukan tingkat kemampuan menulisnya. Artinya kemampuan terendah dalam menyampaikan ajakan agama dapat dilakukan siapa saja tapi tidak persis begitu dalam ranah tulis-menulis. Secara praktik keduanya berbeda.

Dalam posisi mengajak menulis dan membaca ada ketentuan tertentu yang tidak tertulis tapi menjadi penentu status ajakan itu. Jika mengajak dalam dakwah (agama) dapat disampaikan tanpa tuntutan contoh-teladan maka mengajak menulis tidak cukup menyebutnya saja. Syarat utama tentu saja sebelum mengajak orang lain, orang yang mengajak akan dilihat apakah sudah melakukannya atau belum. Tapi, untuk kewajiban mengajak itu sendiri adalah mutlak, ya, begitulah sejatinya.

Pertanyaannya, sudahkah kita melakukannya? Saya percaya bahwa untuk setiap kita secara pribadi akan berbeda-beda perjalanan ajakan yang sudah atau akan kita lakukan. Saya sendiri, secara pribadi seingat saya, itu sudah ada dan sudah saya lakukan sejak lama. Sudah sejak lama melaksanakan keharusan mengajak atau dakwah secara sederhana. Saya ingat, saya sudah menjadi guru sejak lama sekali. Maksud saya, mengajar, misalnya sudah saya jalani sejak saya belum pantas menjadi guru. Kok bisa?

Sebagai orang desa, tahun 70-an saat saya berusia anak-anak menjelang remaja (umur 14-an tahun) dan bermastautin di kampung (Desa Airtiris, namanya waktu itu) saya dan teman-teman sebaya hidupnya lebih banyak di surau, di madrasah atau di sekolah. Begitulah adat kebiasaan anak-anak desa. Selebihnya bermain --apa saja-- sesama sebaya.

Umur di Sekolah Dasar (Sekolah Rakyat, kelas 1-5 dan berubah Sekolah Dasar menjelang kelas 6), saat itu saya sudah lancar membaca alquran. Sesuai kebiasaan di surau tempat saya mengaji maka saya sudah harus mendapat tugas menjadi guru (mengajar) untuk anak-anak yang baru belajar membaca muqoddam. Usia mereka masih kecil dari pada saya. Muqoddam biasanya untuk anak-anak yang baru belajar mengaji. Usia TK (sekarang) atau usia SD (kelas 1-4).

Saya ingat, itulah awal saya menjadi guru. Dalam usia anak-anak atau remaja, saat saya masih di PGAP (setingkat SLTP), waktu itu. Tapi sudah diberi tanggung jawab mengajar oleh penanggung jawab surau yang biasanya bapak-bapak yang ikhlas menjadi pengelola surau. Tentu saja tidak ada gaji atau upah yang doiterima. Baik oleh bapak-bapak yang adalah imam di surau maupun para remaja yang membantu mengajar di surau. Hanya satu kali dalam satu tahun ada perolehan beras dari zakat fitrah orang-orang yang berfitrah ke imam surau.

Selama kurang-lebih empat tahun (1971-1975) saya menjadi guru mengaji di surau yang memang berada di samping rumah saya sebenarnya saya tidak merasa saya sebagai guru waktu itu. Biasa saja bagio saya karena teman-teman lain seusia saya yang ;ancar bacaan alqurannya juga akan diberi tugas yang sama untuk beberapa anak-anak di bawahnya.

Surau Binuang, itulah nama surau di tempat saya. Dulu, ya dulu, itu namanya hanya Surau Binuang. Binuang itu sebenarnya nama tempat. Nama daerah setingkat RT (di bawah kampung atau dusun). Di kampung saya itu ada beberapa daerah setingkat RT yang kami sebut istilah kobuo. Ada Kobuo Binuong (Binuang), Kobuo Botiang, Kobuo Tongah dan Kobuo Toluok. Setiap kobuo ada satu suraunya. Nama suraunya selalu diikuti nama kobuonya. Sekarang, kabarnya sudah ada nama surau di Binuang, itu dengan nama Surau Nurul Ihsan, Binuang. Di sinilah saya menjadi guru untuk pertama kali dalam hidup saya. Sampai saya melanjutkan pendidikan ke Pekanbaru, untuk masuk ke PGA (A) atau PGA 6 tahun pada tahun 1975.

Selama melanjutkan pendidikan di PGAP (di Desa Rumbio, waktu itu) yang hanya sampai kelas empat, saya terus menjadi guru mengaji bagi adik-adik atau anak-anak yang masih belajar awal alias baru belajar muqoddam itu. Biasanya setelah menamatkan muqoddam barulah pindah ke alquran yang dimulai dari Surah Al-Baqarah. Jika sudah pindah ke alquran (besar) gurunya berganti kepada guru yang lebih tua. Begitulah kelaziman di kampung, saat itu.

Setamat dari PGAP Rumbio saya melanjutkan sekolah ke Pekanbaru, sambungan PGA. Itulah PGAA (6tahun) Pekanbaru yang beralamat di Jalan diponegoro- Pattimura. Dua tahun saya menimba ilmu keguruan di sini. Setamat PGAA di Pekanbaru (1977) saya melanjutkan pendidikan ke Unri (Universitas Riau) Pekanbaru dengan mengambil jurusan Bahasa Indonesia (1978-1983). Setelah menyelesaikan pendidikan itu saya pun diangkat menjadi guru (PNS) di SMA Negeri Tanjungbatu, Kundur. Itu pada tahun 1984/1985. Resmilah saya menjadi guru. walaupun sejak awal saya sudah menjadi guru. Dan inilah titik awal saya benar-benar menjadi guru yang diangkat Pemerintah dengan SK (Surat Keputusan).

Sesungguhnya, selama saya menjadi siswa di PGAA Pekanbaru (1977-1978) itu saya tetap menjalankan peran saya sebagai guru, guru mengaji. Bahkan ketika sudah menajdi mahasiswa pun saya masih melanjalankan tugas saya sebagai guru. Jujur saja, ini saya harus lakukan karena memang saya perlu bekerja untuk meneruskan sekolah atau pendidikan saya. Dan mengajar mengaji di pekanbaru dengan di desa saya sudah berbeda. Di Pekanbaru, baik mengajar di masjid/ sekolah ataupun dengan privat ke rumah-rumah saya sudah mendapatkan upah atau honor. Dan honor itu memang saya perlukan untuk sekolah karena orang tua saya tidak berkemampuan untuk meneruskan sekolah saya setalah tamat PGAA.

Dengan menjadi guru, apa-apa segala sesuatu tentang kita selalu ingin dikaitkan dengan posisi sebagai guru itu sendiri. Mungkin perlu sedikit saya berkisah perihal guru di awal-awal saya menjadi guru. Tahun 1984/ 1985 tentu saja keadaan guru belumlah seperti saat ini. Maksud saya, respon orang kepada guru bahkan respon guru itu sendiri kepada dirinya sebagai guru juga tidak sama dengan hari ini. Guru seolah-olah pekerjaan yang tidak menjanjikan. Minat orang menjadi guru sangatlah rendah.

Suka-duka menjadi guru begitu kompleks. Dan itu benar-benar ujian saat itu. Walaupun tahun itu sudah kemerdekaan ke-40, artinya kita sudah merdeka dari penjajah selama 40 tahun, tapi keadaan bangsa kita tidaklah seperti hari ini. Tapi ok, saya sudah memutuskan menjadi guru. Bahkan --seperti sudah saya sebut tadi-- bahwa saya sudah merasakan menjadi guru sebelum menylesaikan studi guru di Universitas Negeri di Provinsi Riau itu. Saat masih di PGAP (setingkat Mts saat ini) saya sudah menjadi guru anak-anak kecil di surau, di kampung saya itu. Saat di PGAA dan mahasiswa juga terus menjadi guru. Guru, ternyata akhirnya menjadi pemenuh kebutuhan hidup.

Saya pastikan, saat saya melanjutkan pendidikan di PGAA (setingkat Madrasah Aliyah) di PGA Negeri Pekanbaru (1975-1976) saya tinggal di salah satu Masjid di Pekanbaru. Saya menjadi seorang ghorim (disebut juga noje) yang tugas sehari-harinya membuka dan menutup masjid sekaligus membersihkannya. Dalam posisi seperti itu, saya mengajar mengaji di masjid untuk anak-anak yang bertempat tinggal tidak jauh dari masjid. Artinya saya tetap menjadi guru (mengaji) itu. Dan saat kuliah selain tetap mengajar mengaji saya juga mulai mengajar (menghonor) di sekolah. Mulai tahun 1980, itu saya sudah menjadi guru di SMP (Swasta) Nurul Falah Pekanbaru. Status ini saya sandang hingga saya resmi (diangkat) menjadi guru (PNS) di tahun 1985. Saya harus menajdi guru karena harus mencari dan menghidupkan diri untuk untuk hidup itu sendiri. Maaf, orang tua saya kebetulan hidup bertani dengan sandaran hidup secara serabutan.

Setelah resmi menjadi guru, Guru Bahasa Indonesia pula maka pekerjaan mengajarkan dan mengajak orang menggunakan bahasa (tulisan, lisan, dll) itu sudah menajdi kewajiban. Singkat cerita, menulis dan menulis memang menjadi kewajiban walaupun bukanlah sesuatu yang menyenangkan.

Setelah menjadi Kasek, keinginan mengajak anak-anak berlanjut melalui guru. Sekaligus mengajak guru-gurunya untuk bergiat di ranah literasi. Tapi jujur saja, saya belum berhasil juga mengajak banyak guru saya. Dari Moro, ke SMA 2 dan terakhir di SMA 3 Karimun. Di sinilah saya baru menyaksikan guru saya menulis buku. Tapi itu, sudah bersama dengan komunitas atau kelompok-kelompok yang secara khusus bergiat di bidang literasi.

Ada banyak komunitas literasi di negeri ini. Ada website Guraru yang menyasar guru-guru berkegiatan di berbagai aktivitas, termasuk bidang literasi. Guraru (Guru Era Baru) yang membuat website dengan nama yang sama berhasil mengantarkan banyak guru aktif di ranah liteasi. Dan dari sekian banyak kelompok dan perorangan yang gigih menjadi penggiat literasi, lahir MGI (Media Guru Indonesia) yang populer dengan sebutan Media Guru saja. MGI tidak hanya membuat website gurusiana.id dan grup FB Media Guru tapi juga membuat dan melaksanakan banyak program menulis buku bagi guru. Sayapun ikut merasakan betapa MGI telah menciptakan suasana baru bagi guru dalam menulis buku.

Dengan jumlah anggota ratusan ribu guru MGI sudah berhasil melahirkan guru-guru penulis buku. Dan buku-buku itu dicetak dan ber-ISBN yang tentu saja menjadi nilai tertentu bagi guru. Guru, selain sudah juga menerbitkan buku sebelum era Media Guru, baik secara indie maupun sukses menembus penerbit mayor kini semakin bersemangat dengan lahirnya Media Guru yang tidak hanya membimbing menulis buku tapi sampai tuntas menerbitkannya.

Saya sendiri sebelum berkenalan dengan MGI di tahun 2017, itu saya sudah coba membukukan beberapa tulisan saya, antara lain tulisan-tulisan (opini) yang pernah dimuat di koran menjadi sebuah buku. Juga saya sempat menulis catatan sedih saya ketika isteri (pertama) saya harus pergi duluan. saya tulis dalam judul Bahtera Cinta Berlayar Sudah. Beberapa buku itu saya cetak secara indie memang karena tidak mudah menembus penerbit mayor.

Banyaknya komunitas dan kelompok-kelompok bimbingan menulis, baik untuk guru maupun untuk masyarakat umum sesungguhnya memberikan kesempatan kepada kita untuk terus berlatih menulis. Dan pada titik tertentu, kita juga berkesempatan mengajak teman-teman lain untuk ikut menceburi ranah literasi ini. Saya merasakan, dengan mengingat masa lalu, saat kesempatan mengajak orang lain melakukan sesuatu, kini kesempatan mengembamngkan diri sekaligus meneruskan keinginan mengajak teman-teman lain semakin terbuka. Setidak-tidaknya cara ini adalah satu cara mengajak diri sendiri dan berusaha mengajak orang lain.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Catatan Safari Subuh MUI dan Kemenag Kabupaten Karimun di Masjid Al-Hikmah, Tebing.

AHAD (16/11/2025) subuh, ini adalah giliran Masjid Al-Hikmah, Tebing mendapat kunjungan tim Safari Subuh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan K...