Jumat, 12 Maret 2021

Memakmurkan Masjid: Antara Cita-cita dan Utopia

JUMAT (07/02/12) itu adalah jumatan pertama (perdana) di Masjid Baituttahman, Teluk Air, Tanjungbalai Karimun, Kecamatan Karimun. Pelaksanaan sholat jumat di masjid Baiturrahman --masjid terbaru, dibangun pemerintah, waktu itu -- diresmikan pemakaiannya untuk pertama kali solat jumat. Hari itu, saya ingat Bupati Karimun, masih Pak H. Nurdin Basirun hadir sebagai pejabat tertinggi di kabupaten bersama rakyat Karimun. Dialah yang meresmikan penggunaan masjid megah kedua setelah Masjid Agung itu.

Tidak hanya pejabat tertinggi kabupaten yang hadir tapi juga ada beberapa undangan dari negeri seberang. Hadir undangan dari Malaysia. Catatn saya, malamnya diadakan peringatan Maulid Nabi 1433 dengan penceramah sengaja didatangkan dari Pulau Jawa. Sayangnya saya lupa namanya. Pastinya dari Jakarta. Seorang dai kondang berstandar Nasional.

Bagi saya mencatat peristiwa itu kembali saat ini karena saya pada Jumat (14/02/12) itu yang merupakan jumatan kedua saya juga sempat solat di situ. Saya ingat jamaah sholat Jumat itu begitu ramai. Jamaah sholat jumatnya begitu membludak sampai ke ruang kaki-lima, kiri dan kanan. Saya masih ingat (kebetulan saya masih ada catatan) khatib membawakan topik khutbah "Memakmurkan Msjid" sesuai dengan jadwal yang ditentukan pengurus masjid.


Topik itu dipilih tentu dengan harapan ke depan masjid ini tidak hanya berdiri dengan megah, dibangun berbiaya mahal tapi terbiar begitu saja tanpa jamaah. Atau jamaahnya tidak seimbang dengan besarnya masjid. Inilah yang ditakutkan. Misalkan lagi tanpa aktivitas keagamaan sebagaimana banyak masjid di daerah ini. Sebaliknya yang diharapkan adalah masjid yang menjadi masjid yang senantiasa ramai oleh jamaah. Bukan sebaliknya itu.

Kekhawatiran ini ditimbulkan bukan tanpa alasan. Di awal-awal ingin dibangun dan berdirinya masjid baru ini sesungguhnya sudah ada riak-riak suara yang bernada miring. Ada yang mendukung tapi bukan tak ada yang kurang sreg. Sebanyak yang setuju tapi tidak sedikit pula yang tak setuju.

Itu dapat dimaklumi dengan beberapa sebab. Pertama, masjid ini berdiri di antara sudah begitu banyaknyamasjid dan atau rumah ibadah lain di sekitarnya. Apalagi masjid ini dibangun oleh Pemerintah Kabupaten (bukan inisiatif dan swakarsa dan atau swadana masyarakat sebagaimana lazimnya pembangunan rumah ibadah) yang otomatis menggunakan uang Pemda (baca: uang rakyat). Dan jumlahnya tidak sedikit. Masjid yang lebih mirip denan Masjid Nabawi, Madinah, itu memang terkesan megah berbanding semua masjid yang di kabupaten ini. Satu-satunya masjid yang lebih besar dan megah adalah Masjid Agung di Poros yang adalah masjid Pemerintah Kabupaten.

Sebab kedua, dengan fakta sudah adanya Masjid Agung alias masjid kabupaten --sebagai masjid Pemerintah-- yang berdiri megah di daerah Poros, yang tidak jauh dari gedung megah kantor bupati dan gedung-gedung perkantoran lainnya, itu masih perlukah Pemda membangun masjid baru ini? Belum lagi alasan lain seperti terdapatnya masjid-masjid lain di sekitar lokasi masjid baru ini.

Tapi pemerintah juga punya alasan, mengapa masjid ini harus dibangun. Alasan pertama adalah ingin memperluas pola pengembangan dan pengelolaan masjid yang saat ini diterapkan masjid Agung sebagai masjid pemerintah. Masjid modern ini memang terasa lain dibandingkan kebanyakan masjid yang ada.

Di masjid Agung, imam sholatnya disyaratkan seorang hafizh. Dengan suara dan bacaannya yang bagus membuat jamaah betah melaksanakan sholat di masjid ini. Faktanya memang, meski masjid Agung Karimun cukup jauh dari pemukiman penduduk tapi jamaahnya selalu ramai. Masjid ini memang dikelola dengan manajemen modern. Para pegawainya (Imam, Bilal, Khatib, serta petugas lain) dibayar dengan honor yang lumayan cukup tinggi oleh Pemda Karimun. Perumahan mereka disediakan di lingkungan masjid. Dan dana itu, disamping memang dari Pemerintah juga dari jamaah yang memang selalu ramai adanya. Rakyat dan pemerintah Karimun sangat membanggakan masjid ini.

Bupati Karimun, dalam berbagai arahan dan sambutan senantiasa mendorong para pengurus masjid di kabupaten berazam ini untuk mengelola masjidnya dengan cara-cara modern. Pola Masjid Agung dijadikan acuan. Minimal setiap imam masjid di Karimun haruslah imam yang baik (hafizh dengan suara danbacaan yang bagus) dan ditopang manajemen kepengurusan yang modern. Pola itu pulalah yang duterapkan di masjid Baiturrahman.

Oleh karena itu, ketika ada sebagian masyarakat berkehendak membangun masjid baru, di tempat baru (jauh dari Poros, lokasi Masjid Agung) dan ingin mengadopsi pola manajemen baru, bupati (Nurdin) yang terkenal dekat dengan rakyat ini langsung menyambut. Dan dengan persetujuan DPRD Karimun, dianggarkanlah pembangunan masjid baru ini.

Persoalan baru tentulah berkaitan dengan 'memakmurkan' itu tadi. Pertanyaannya, adakah masyarakat kelak akan benar-benar meramaikan masjid ini di setiap --sekuruang-kurangnya-- sholat wajib dan pada saat kegiatan lainnya? Jangan-jangan harapan akan makmurnya masjid itu hanya sekedar cita-cita atau bahkanhanya utopia belaka? Itulah yang dikhawatirkan beberapa tahun lalu itu.


Namun, kini terbukti masjid Baiturrahman ini benar-benar menjadi ikon baru bersama masjid Agung Poros, Karimun perihal pengelolaan masjid. Ketakutan bahwa kemakmuran masjid dengan bukti ramainya jamaah hanya sekadar utopia saja, tidak terbukti. Masjid Baiturrahman membuktikan bahwa masyarakat cukup antusias memakmurkan masjid ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Catatan Safari Subuh MUI dan Kemenag Kabupaten Karimun di Masjid Al-Hikmah, Tebing.

AHAD (16/11/2025) subuh, ini adalah giliran Masjid Al-Hikmah, Tebing mendapat kunjungan tim Safari Subuh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan K...