DI SETIAP penghujung Ramadhan selalu ada kesibukan para pengurus Masjid atau Musolla yang mengumpulkan zakat dan atau zakat fitrah untuk kembali menyalurkan zakat-zakat itu kepada para mustahik. Biasanya tiga-empat hari menjelang Idul Fitri, para pengurus sudah mulai membagi-bagikan zakat-zakat itu kepada para muslim yang berhak. Untuk penetapan penerima zakat, harus melalui rapat panitia (amil zakat) dengan pengurus serta masyarakat sekitarnya.
Tidak selalu mudah dan lancar rapat penentuan mustahik di setiap masjid atau musolla. Kriteria yang dipakai, selain ketentuan naqli (nas alquran di surah At-Taubah: 60) itu, pengurus masjid juga akan memperhatikan keberadaan dan domisili para mustahik sebagai kriteria tambahan. Seorang muslim yang berdomisili di sekitar dan atau menjadi jamaah masjid/ musolla bersangkutan, adalah syarat lain yang juga dijadikan dasar.
Ketika rapat dilaksanakan, semua kriteria yang disepakati akan dibentangkan. Setelah daftar nama (usulan/ biasanya dari Ketua RT/ RW) dibacakan, para peserta rapat akan membahas nama-nama itu dari berbagai kriterai yang sudah disepakati. Dari sisi asnab yang sudah ditentukan agama, perdebatannya berkisar antara benar-tidaknya seseorang itu masuk kategori fakir atau miskin. Dua asnab ini selalu lebih banyak menyita waktu rapat.
Seorang nama yang dikategorikan miskin atau fakir, sesungguhnya sudah ada ukurannya. Jika seseorang itu tidak mampu mencukupi biaya kehidupan pokoknya (makan, dll) dari pekerjaannya maka dia akan dikategorikan sebagai seorang miskin.Meskipun bekerja namun hasilnya tidak bisa memenuhi kebutuhan utama, maka itulah kriteria orang miskin selalu dipakai.
Para ulama memang ada yang menyamakan saja antara fakir dan miskin meskipun di dalam alquran kedua nama itu disebut terpisah. Tapi ada pula yang membedakannya sesuai penafsiran ayat itu juga. Salah satu perbedaan itu adalah ketika seseorang itu sama sekali tidak mempunyai penghasilan/ pekerjaan yang dapat memenuhkan kebutuhan pokoknya, maka orang ini dikatakan fakir. Artinya tingkat kesulitan hidup orang fakir dianggap lebih berat dari pada orang miskin, walaupun ada pula ulama yang menganggap sebaliknya. Yang pasti, kedua-duanya adalah orang yang berhak menerima zakat.
Pada saat memutuskan seseorang itu fakir atau miskin inilah lazimnya terjadi perdebatan yang cukup alot. Buat yang mengusulkan seseorang untuk menjadi mustahik tentu saja cenderung akan mempertahankan orang itu tetap sebagai penerima zakat. Sebaliknya bagi orang lain yang juga mengetahui kehidupan seseorang itu tidaklah seberat yang disampaikan, maka di sinilah akan terjadi perdebatan. Di satu sisi, kriteria fakir- miskin dianggap tidak terpenuhi karena melihat kasat mata dia masih berkemampuan menghidupkan dirinya. Tapi di sisi lain, yang menganggap lebih tahu, justeru sebaliknya.
Tentu saja yang harus diperhatikan adalah kebenaran keadaan dari orang-orang yang diusulkan. Kesalahan menetapkan seseorang menjadi seorang mustahik, jelas akan berakibat fatal dalam pengamalan agama itu sendiri. Artinya, para amil atau pengurus yang menentukan kriteria seseorang menjadi mustahik atau tidak akan bertanggung jawab sampai ke akhirat nanti. Jika dia berhak tapi tidak diberi, maka itu akan menjadi sebuah kesalahan yang berakibat jatuhnya dosa. Sebaliknya jika dia sesungguhnya tidak berhak tapi tetap diberi, ini juga akan mendatangkan sebuah kesalahan.
Di sinilah perlunya kehati-hatian para pihak yang akan memutuskan status seseorang sebagai mustahik atau tidak. Tanggung jawab sebagai amil yang oleh Allah juga diberi hak (sebagai mustahik) atas kerja dan tanggung jawabnya itu wajib baginya untuk membuat keputusan yang benar, sesuai ketentuan agama. Dan atas kesalahan ini, otomatis dosa akan ditanggung oleh amil atau siapa saja yang berwewenang membuat keputusan atas penetapan mustahik. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar