TEPAT saat Safro berdiri mau membayar, sahabatnya, Tino masuk. "Heeh, udah selesai? Saya baru mau sarapan?" Safro hanya tersenyum dan uang lembaran ungu itu dia serahkan ke kasir. Tadi kasirnya sudah menjawab pertanyaan, berapa duit sarapannya. "Sarapan apa? Cuman sepuluh rebu?" Tino meledeknya kembali. Mereka bardua adalah sahabat kental sejak kecil. Sedari TK main bersama, sering saling antar kue waktu kecil-kecil dulu. Tidak heran kalau Tino mengguraukan Safro yang membayar sarapannya dengan selembar uang segitu. Safro minta izin duluan. Lalu tancap gas dengan Mio metiknya.
Dalam perjalanan menuju ke rumah Safro terpikir ejekan temannya tadi. Sebagai seorang pengusaha bakso dengan puluhan cabang kedai bakso dan puluhan pula gerobak baksonya dijalankan anak buahnya, dengan kekayaan miliaran Safro malu juga diledek temannya. Sarapannya nasi lemak bungkus daun, plus segelas teh. Safro merasa malu diejek begitu. Dia tahu kekayaannya begitu besar. Makanya teman-temannya selalu mengajak makan dan minum di restoran besar. Tapi Safro selalu minum di warung kopi sederhana. Ah, peduli amat, katanya. Bersamaan itu tiba-tiba motornya nyasar ke tepi jalan dan nyaris masuk parit. Safro terkejut. Aku melamun, katanya dalam hati.
Sampai di rumah, Safro ingin menyampaikan ejekan Tino itu ke isterinya. Tapi tidak berani. Safro hanya mondar-mandir melihat isteri memotong bawang untuk menyiapkan sarapan pagi. "Kenapa, Bang? Bolak-balik dari tadi? Nasi gorengnya belum. Sebentar juga masak." Safro tidak menjawab omongan bininya. Dia masih baper dengan omongan Tino tadi. Aku sarapan sepuluh ribu, memang kenapa?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar