Selasa, 12 September 2017

Cerpen: TEMBANG DUKA DI SENJA MERAH

DUA ekor kupu-kupu melintas, mengganggu lamunannya. Namun dia tetap duduk di situ. Sebuah bola susu 40 watt menyala di atas kepalanya. Dia melirik ke atas. Lalu kembali menatap jauh. Pasangan kupu-kupu itu masih menari di depannya. Mungkin mencari tempat tidur.
“Hmmm… kalau saja aku seperti dia,” gadis itu mendesah. Kupu-kupu itu hinggap berdampingan.
Sedetik kemudian, gadis itu beranjak meninggalkan teras rumahnya. Baru beberapa langkah, dia dicegat Kelly, adik angkatnya.
“Dari mana, Kak? Pasti habis melamun lagi. Membayangkan ….. hmmm….. itu… membayangkan itu tuh.” goda
Kelly, manja.
“Husy. Nggak usah ngeledek. Itu tuh, apaan?”
“Nah, kaan… biasanya selalu begitu. Kalau lagi titik-titik sama dia pasti kita bakal kena getahnya.” Kelly terus mengikuti langkah Willy.
“Kenapa sih, Kak Wil sekarang sering mbrungut-brungut, menung melamun? Ada apa, ya?”
Willy berbalik menatap lekat-lekat adiknya. Tak ada suara.
“Kenapa sih, Kak?” Kelly tampak penasaran.
“Hei adikku yang manis, coba tanya yang lain, kenapa? Ini sudah magrib, kan? Sudah solat, belum? Bertanyanya macam-macam saja.”  Willy meneruskan langkahnya.
“Oh ya, sorri deh kakak sayang. Tapi kakak juga belum magrib, kan?” Willy tidak menjawab. Dia terus ke belakang, mengambil wudhuk.
***
LAMA Willy termenung sehabis menunaikan kewajiban magrib itu. Dia sebenarnya telah selesai berdoa beberapa menit lalu. Tapi telekungnya belum ia tanggalkan. Dia amsih bersimpuh di atas sajadah. Beban kepalanya terasa kian berat.
Tiba-tiba matanya terantuk ke lukisan itu. Hatinya semakin berdarah. Dia ingin menangis, menumpahkan nanah luka di jantungnya yang telah lama terpendam. Dia ingin menghancurkan saja lukisan potret dirinya itu. Tapi ah …
“Kamu benar-benar jahat, Wil.”
Kata-kata itu terngiang kembali. Siang tadi dia dimarahi Fadhli, abang sepupunya.
“Tidak pernah Abang menduga akan Wiwil begitukan dia.”
Willy tidak bersuara. Hanya matanya berkaca-kaca. Bening sekali.
“Baru berapa bulan saja dia pergi, ternyata Wiwil telah lakukan itu. Apa itu namanya tidak jahat? Kejam.” Fadhli menggigit giginya hingga menimbulkan bunyi.
Willy merasa ada bara di telinganya.             
“Tapi…” Willy menggigit bibir atas. Suaranya tidak mampu ia keluarkan. Rasanya berat sekali bibir itu diangkat.
“Dan lelaki itu adalah temannya sendiri. Kemana ini Wiwil, ha?” Fadhli mengetuk keningnya beberapa kali. Dia marah sekali.
“Abang…” Willy rasanya ingin menjerit. Tapi itu tidak mungkin. Di sebelah adalah ruangan majelis guru. Dan di balik ruang UKS itu adalah ruangan kelas. Kelas tiga B tengah belajar. Kalau saja Fadhli memarahinya di rumah, dia tentu akan menangis. Menumpahkan isi dadanya.
“Sudah berapa lama Wiwil pacaran dengannya?”
Wiwil tidak dapat menjelaskannya. Dia benar-benar sedih, sedangkan kedua orang tua serta abang-abangnya tidak pernah bersuara tinggi kepadanya. Apalagi membentak seperti yang dilakukan Fadhli.
“Jawab. Sudah berapa lama.” Fadhli menatap lebih tajam.
Willy merasa semakin kecil dihardik begitu. Wajarkah Bang Fadhli mempermalukan aku begini? Dia merasa kehilangan harga diri. Dia juga ingin meludahi muka Fadhli. Tapi itu tak mungkin. Fadhli adalah abang sepupu yang  lebih dihormatinya selama ini dari pada abangnya sendiri.
“Sudah empat bulan,” dia berhasil sedikit melapangkan dadanya.
“Ha? Jadi waktu Tedy datang sebentar itu, dan Wiwil masih lengket macam lintah dengannya, ternyata Wiwil telah menjalin hubungan baru pula dengan guru Matematika itu?” Fadhli semakin marah. Dia seperti akan menelan bulat-bulat adik sepupunya itu.
“Tak kusangka. Benar-benar keterluan. Wanita yang begitu baik abang kenal. Jujur dan lembut. Bahkan Tedy sendiri memuji selangit. Ternyata tak lebih dari seorang wanita bermata keranjang. Wanita yang begitu gampang menjajakan cinta. Wanita…”
“Abang, Wiwil…” Willy tidak mampu lagi menahan tangis. Kedua pipinya yang mulus itu kini basah. Jeritan tangisnya tenggelam di balik sesunggukan yang tampak susah sekali ia tahan. Celaknya, dia tak mampu menjelaskan keangkuhan dan kelicikan Tedy. Dia tidak bisa menjelaskan apa yang telah terjadi sebulan sebelum Tedy berangkat ke Tanjungpinang itu.
Fadhli hanya tahu bahwa Tedy adalah pacar Willy. Hubungan mereka telah berlangsung, hampir setahun, sejak Willy Sayekti bertugas di SMP tempat Fadhli dan Tedy mengajar.
Fadhli juga tahu kalau kedua orang tua Willy telah merestui hubungan mereka. Bahkan kedua orang tua Willy amat bangga karena anak gadis satu-satunya itu kembali menemukan hidupnya setelah mengurung diri begitu lama. Dua tahun lalu Willy mengalami gangguan pikiran ketika Suroso kekasihnya yang dua bulan lagi menggondol Sarjana FAPERI UNRI mengalami kecelakaan dalam acara Pacu Jalur di Taluk Kuantan. Willy benar-benar terpukul oleh kepergian Suroso yang telah berjanji menikahinya sehabis wisuda. Nyatanya dia pergi untuk selamanya.
Sejak itu hati Willy benar-benar membatu. Tak seorang pun bisa mendekatinya, sampai Tedy akhirnya mampu mencairkan gunung batu itu. Kedua orang tua Willy pun sangat bangga. Anak gadisnya kembali hidup.
Willy adalah anak manja keluarga Pak Mirta dan Bu Sari. Dia mempunyai tiga orang abang dan dua adik yang semua laki-laki. Dan untuk teman Willy, Pak Mirta mengambil anak Pak Manaf (saudara Pak Mirta yang tinggal di desa) sebagai anak angkat. Willy begitu senang mempunyai adik angkat seorang wanita yang juga cantik seperti dia.
“Wiwil…”
Willy tersentak. Dia menatap Fadhli. Matanya seperti mata anak kecil yang sedang ketakutan. Di mata bening itu seperti tersimpan seribu rahasia. Rahasia yang sangat menyiksanya. Sayang, Abang tidak memahami ini semua, jerit Willy di hatinya.
“Wil, ini hanya demi Wiwil sendiri. Abang marah sebenarnya karena sayang. Wiwil kan adik Abang. Tedy juga teman Abang. Abang tahu persis siapa dia. Abang tak bisa menerima kenyataan perlakuan Wiwil terhadap teman Abang sendiri. Abang jadi begitu emosi,” suara Fadhli sedikit agak rendah.
Willy masih bisu. Dia ingin sekali menjelaskan sesungguhnya antara dia dan Tedy sudah tidak ada apa-apa sejak September tahun lalu. Hampir enam bulan berlalu. Tedy telah menghancurkan segala harapannya. Tedy telah menyia-nyiakan cinta suci yang ia berikan. Bahkan Tedy telah dengan sengaja menyiksa bathinnya.
Willy juga ingin menerangkan sesungguhnya teman Fadhli itu adalah lelaki tak bertanggung jawab. Lelaki licik yang sok alim, sok berwibawa; tapi bertingkah macam iblis. Dia hanya pintar bermain lidah. Hati Willy terasa geram sekali berpikir begitu.
“Abang tahu betul dengan sifat Tedy. Dia teman Abang selama hampir tiga tahun.” Fadhli memecah kebungkaman di antara mereka.
“Sebelum Wiwil di sini, dialah satu-satunya guru yang paling Abang kagumi. Bertanggung jawab dan dipercaya Kepala Sekolah. Abang senang kalau kalian bisa saling mengerti.”  Fadhli berjalan beberapa langkah.
“Tapi…” suaranya masih saja tersekat. Dia menderita sekali, mengapa dia tak sanggup menerangkan yang sebenarnya kepada Fadhli.
Beberapa saat hening.
Fadhli mencampakkan pandangan jauh ke luar sana lewat kaca nako yang terbuka.
“Wil, coba ingat perpisahan tempo hari. Semua guru, termasuk Kepala Sekolah hadir. Semua yang hadir begitu haru melepas kepergian Tedy. Kami semua hampir meneteskan air mata ketika dia memberi sambutan perpisahannya. Sayang, sayang… kamu tak hadir waktu itu.”
Wally tetap bisu sambil telunjuknya menggarut-garut sandaran kursi yang dijadikannya penyanggah dagunya.
“Ándai saja Wiwil datang dan hadir. Tahulah Wiwil siapa dia.” Fadhli kembali melemparkan pandangan jauh.
“Wiwil sudah tahu dia, Bang.” Willy memaksakan mengucapkan kalimat itu.
Fadhli masih melihat jauh ke depan sana. Mugkin dia tidak mendengar ucapan adiknya yang sejak tadi hanya seperti anak kecil yang belum bisa berbicara.
Di luar, panas semakin menyengat. Ruangan UKS yang kecil dan sempit itu terasa semakin pengab. Dan Willy merasakan lebih dari itu semua. Kulitnya bagai diiris-iris pisau berkarat.
“Ah, kalau saja Willy tahu dia… mungkin Willy tidak akan melakukan itu semua.”
Willy tetap tidak bisa bersuara. Sesekali sesunggukannya masih terdengar. Dia merasa apa yang diucapkan Fadhli sejak tadi bertentangan dengan apa yang ia rasakan. Berlawanan dengan kenyataan.
“Abang yakin, sekarang dia tetap merindukan Wiwil. Tapi sayang… Wiwil telah mengkhianatinya di sini. Kalau saja dia tahu, tentu hatinya sedih sekali.” Fadhli melangkah meninggalkan ruangan itu bersamaan dengan berdentangnya lonceng  panjang pertanda jam terakhir telah usai.
Willy berusaha bangkit sambil mengusap matanya yang masih terasa basah. Betapa beratnya ia rasakan tubuhnya. Semua persendian terasa pegal. Ingin rasanya dia berbaring di kasur ruangan UKS itu. Tapi khawatir dilihat murid atau guru lain. Dia memaksakan diri untuk tegak.
“Tik… tik… tik …” willy kaget, ketika ada suara ketukan pintu kamarnya. Rupanya dia melamun begitu jauh. Cepat-cepat diusapnya matanya yang benar-benar basah.
“Kak Wiwil.”
Itu suara Kelly, pikirnya. Dia berusaha menetralkan pikirannya.
“Duh minta apa, Kak. Begitu panjang doanya,” Kelly mendekati. “Minta apa sama Tuhan, Kak? Tuh, mama dan papa dari tadi tanya Kakak.”
“Kelly bilang apa?”
“Bilang sholat.”sambil tersipu.
“Bagus. Terima kasih, adikku.” Terasa badannya letih sekali.
“Papa di mana?” tanya Willy sambil melipat mukena.
“Di depan.”
Willy keluar setelah menatap kaca seukuran badan di kamar itu beberapa detik. Kelly mengikutinya.
***
BERBAGAI perasaan bergejolak di hati Willy. Dia menganggap tindakannya mendekati dan menjalin hubungan dengan Trismi, si jangkung, guru Matematika itu adalah baik. Setidaknya menurut penilaiannya. Dia tidak ingin luka lama berdarah lagi. Dia tidak ingin terus hanyut di laut air mata berkepanjangan. Tedy telah menghancurkan hatinya untuk kedua kalinya.
Namun di sisi lain, atas sikapnya yang selalu menutupi diri telah membuat dirinya dimarahi Fadhli. Dia tidak pernah bercerita bahwa dia tidak lagi mempunyai hubungan apa-apa dengan Tedy. Tedy telah dengan sengaja meninggalkannya. Hanya sikapnya saja yang tidak banyak berubah. Bahkan keberangkatan Tedy ke Tanjungpinang untuk bertugas di salah satu SMP di sana dia tanggapi dengan wajar-wajar saja, setelah pasti Tedy dia anggap meninggalkannya.
Padahal jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tersembunyi rasa benci yang mulai dirasakannya sejak beberapa waktu lalu. Waktu itu Tedy sudah positif akan pindah ke Tanjungpinang. Willy tentu gelisah mendengar berita itu. Hubungannya yang telah hampir setahun tentu bakal goncang. Dia tentu akan malu kepada murid-muridnya yang setiap hari selalu mengejeknya sebagai ‘mama T’, ejekan yang semakin populer di lingkungan sekolah itu. Kalau Tedy absen mereka akan bertanya kepada Willy.
Kini Tedy akan berangkat meninggalkan Pekanbaru. Pikiran Willy selalu tak menentu sebelum ada kepastian dari Tedy. Tedy sendiri setiap kali ditanya. Willy hanya merasa mendapatkan jawaban yang membingungkan.
“Di sini atau di sana, rasanya sama saja, Wil” Begitu jelas Tedy suatu hari, ketika Wiwil menanyakan kepergian Tedy.
”Itu bagi orang yang pergi. Bagi yang tinggal?” ada gambaran rasa takut di wajah mungil itu.
“Wiwil takut?”
Pertanyaan konyol, kata Willy dalam hatinya.
“Kita tidak perlu hilang harapan, Wil. Kata orang tua-tua, jatah pipit tak ‘kan dimakan enggang. Jadi  kenapa mesti risau?”
Jawaban begini sudah terlalu sering diucapkan Tedy. Pepatah petitih dan filsafat yang diucapkan Tedy membuat hati Willy muak saja. Filsafat licik, jeritnya di hatinya.
“Kita sudah dewasa.” Datar saja suara itu.
“Ya, dan saya yakin sekali kalau Wiwil itu bersikap dewasa. Memahami bahwa apa-apa yang kita alami ini, ada hikmahnya, nanti.”
“Oo… jadi Wiwil rupanya belum…”
“Op bukan. Bukan,” Tedy memotong kalimat itu.”Saya tidak menuduh demikian,” suaranya yang bariton rada-rada bas membuatnya terkesan tambah angkuh.
Sejenak hening. Rasa muak Willy datang lagi. Jawab yang didengarnya malah kian menjengkelkan hatinya.
“Saya ingin Wiwil mengerti.”
“Yah, saya mengerti,” sambil berusaha untuk pergi.
“Nah merajuk kan?” Tedy memotong dari depan. Mata mereka saling beradu.”Jangan begitu. Kita bicara dulu, biar sama-sama puas.”
“Aku sudah lebih dari puas. Aku mau pulang.”
Kali ini Tedy tidak menahannya.
Di ufuk barat langit  tampak kian jingga. Raja langit telah berkemas untuk ke peraduannya sejak beberapa menit lalu.
***
SEJAK sore itu benih-benih benci kian subur di hati Willy. Hanya wajahnya yang manis dan sikapnya yang selalu wajar itulah yang membuat orang tidak pernah tahu apa yang tersembunyi di balik hatinya. Semua orang hanya tahun bahwa dia pacar Tedy. Willy yang cantik dan ceria tetap semanis dulu. Murid-muridnya juga tahu kalau dia adalah calon istri Pak Teddy yang tak lama lagi akan pindah tugas.
Siang itu, sekali lagi Willy menemui Tedy. Dia berjumpa di sekolah karena kebetulan Tedy masuk sore. Dari rumah, Willy telah berniat untuk memperoleh jawaban pasti. Aku harus berani, tekadnya. Jika dia tak mau, aku harus menentukannya sendiri.
“Hai… Wil, sesiang begini? Ada apa?”
Willy menatap lebih tajam dari pada biasanya. Sebenarnya dia kaget ditegur begitu. Namun dia berusaha untuk menguasai dirinya.
“Ada jam?” Willy mengambil inisiatif bertanya.
Tedy hanya tersenyum. Senyum yang memuakkan hati, jerit Willy.
“Saya ingin bertemu.”
“Lha, ini kan sudah bertemu. Bertemu sama siapa?”
“Aku ingin bicara empat mata.” Willy sekuat tenaga mengendalikan emosinya.
“Hmmm? Ini nyindir apa ngejek? Mentang-mentang mata saya sudah empat,” Tedy terbahak menggoda sambil membuka kaca mata minusnya.
“Saya serius. Saya mohon waktu. Sebentar saja cukup.”
Tedy masih setengah bercanda.
“Saya tidak ingin bergurau.”
Tedy mengernyitkan keningnya. “Ee… ngomong-ngomong ada apa, Wil? Tampaknya serius amat nih.”
Diam sebentar. Lalu, “saya ingin bicara. Bedua saja!”
“Berdua? Berdua di mana?”
“Di mana saja. Di sini terlalu ramai.”
“Kalau di sini saja?”
“Saya harap kita ada waktu untuk bicara. Mungkin untuk yang terakhir.”
Wajah Tedy tampak agak serius. “Ada apa, Wil. Kamu bercanda, apa…”
”Saya tidak main-main. Saya mohon kali ini saya diberi waktu. Kemarin janji datang ke rumah, tapi tak datang. Katanya pulang ke Bangkinang. Hari ini saya ingin bicara di mana saja. Asal berdua.”
Sejenak Tedy menatap Willy penuh heran. Tedy bingung. Dalam waktu yang sama dia juga kagum. Willy tiba-tiba tampak berani. Sifat pendiam dan penurut yang telah dihafal Tedy selama ini tak ada. Tedy juga tiba-tiba membayangkan catatan-catatan manis mereka. Dia teringat ketika untuk pertama kali dia mengecup pipi Willy. Tedy rindu kembali pada Willy yang merajuk. Atau Willy yang suka ngambek kalau lupa mencium satu hari saja. Ah Willy, kok wajahmu hari ini, kelihatannya angker sekali.
“Bagaimana? Bisa ‘kan?”
“O ya, ya. Baiklah. Tunggu sebentar aku ambil motor,” sambil melangkah ke arah tempat parkir.
Dua menit kemudian, “Kita bicara di mana?”
Willy tidak menjawab.
“Ayo, kita cari tempat yang bagus.” Lalu keduanya menghidupkan mesin kenderaan masing-masing, dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Di sepanjang jalan keduanya seperti belum saling kenal. Keduanya terpaut oleh pikiran masing-masing. Keduanya tetap saja memandang jauh ke ujung sana. Entah kemana, hanya mereka yang tahu.
“Di sini saja.” Tedy menawarkan bangku panjang di bawah pokok akasia sebelah timur Gereja HKBP. “Kamu keberatan?”
Willy tidak membri jawaban. Hanya karena Tedy sudah terlebih dahulu berheti dan duduk di bangku itu, dia pun mengikutinya.
“Jalan ini memang agak sepi. Wiwil takut?”
Belum ada reaksi.
“Silakan. Barangkali ada cerita baru?”
Willy berusaha mengumpulkan tenaganya yang tiba-tiba terasa drop. Puncak gereja itu dia lihat bergoyang. Tapi Wiwil berusaha menguatkan hatinya.
“Ayo,”sergah Tedy melihat Willy melamun. “Kok termenung?”
“Hmm…” berat sekali tampaknya dia mengeluarkan suara.
Hening sejenak.
“Wil ingin Bapak itu bersikap jujur dan terus terang, Pak.” Sejak kejadian sore hari tiga bulan itu, inilah baru kembali Willy menyapa Tedy dengan sebutan ‘Bapak’. Dulu, ketika hubungan mereka belum terusik oleh berita kepindahan Tedy, Willy telah membiasakan memanggil Tedy dengan panggilan abang. Tedy tampaknya juga lebih suka dipanggil Bapak dari pada sebutan lain. Mungkin karena sama-sama guru.
“Rasanya semakin dalam jurang yang kita gali ini, Pak. Wil takut, nanti akhirnya Wil sendiri yang akan tenggelam.” Willy menelan ludahnya yang terasa pahit. Kerongkongannya terasa tersekat.
Wah, wah, wah… dia benar-benar berubah. Bicaranya juga begitu lancar. Tedy tampak masih terperangah.
“Wil tak bermaksud agar Bapak mengubah perinsip. Yang Wil tidak bisa terima sikap tak pasti itu saja. Wil tak mau didera begitu lama.” Willy berusaha menahan kesedihan. Dia tak ingin sampai terbawa perasaan.
“Willy bimbang dengan hubungan kita ini?”
“Wil percaya, Bapak telah dewasa untuk memahami ini semua.”
Tedy merasa terpukul dengan kalimat itu.”Tapi Wil juga telah memahaminya, kan? Rasanya tidak baik kita berbuat di luar batas kemampuan kita, Wil.” Tiba-tiba lelaki yang biasanya humoris itu berbicara serius.
“Jadi, kepastian Bapak hanya begitu? Kita biarkan saja gunjingan orang itu buyar di bawa angin tanpa kepastian?” Suara Willy bercampur aduk antara marah, geram, sekaligus sedih.”Bapak berangkat, begitu saja?”
“Lalu?”
Willy merasakan dunia berputar. Seluruh tubuhnya serasa bergoncang. Hatinya terasa seperti ditusuk jarum. Dia tak tahu lagi, dia sedang berada di mana.
Kini Tedy yang kelihatan kikuk memangku Willy yang sedang tak siuman. Padahal sudah sering dia memeluk dan memangku gadis itu. Tedy tak tahu mau berbuat apa. Dua-duanya sama-sama bagai tak sadar diri.
Tedy menjadi serba salah. Takut bercampur hiba. Berkali-kali dia coba membangunkan Willy, tapi tetap tidak bergeming. Badannya tampak lemah sekali. Diusap-usapnya kening gadis berambut sebahu itu seperti dulu dia juga telah sering mngusap. Hanya saja perasaannya hari ini tidak sama dengan perasaan yang lalu. Kini Tedy dalam keadaan khawatir dan takut. Takut terjadi apa-apa pada gadis manja itu.
Dua puluh menit berikutnya, Willy terkejut ketika dia sadar dia tengah berbaring di pangkuan Tedy. Hatinya bercampur antara malu dan marah. Dia coba menguatkan badannya untuk duduk. Larangan Tedy tidak dihiraukannya. Rasa muaknya memuncak seketika. Meskipun dia teringat kembali masa-masa manis, ketika dia sering terbaring manja di paha lelaki berkumis tipis itu tapi itu tak membuatnya tertahan untuk berdiri.
“Aku mau pulang. Selamat, dan semoga bahagia di sana.” Dia memaksakan tenaganya menghidupkan mesin vespa merah hati itu.
“Tunggu, Wil. Kamu belum kuat.” Tedy berusaha mencegatnya.
“Tak usah. Wil bisa,” tampak matanya agak sembab.
Kali ini, Tedy tidak menahannya. Lalu Willy meninggalkan tempat itu. Tedy menatap punggung gadis itu sampai hilang di tikungan samping kantor telkom.
Dengan lesu, Tedy pun beranjak dari situ.
***
HAMPIR setiap sore Willy Sayekti bermenung seorang diri. Seperti sore ini ia duduk sendiri memperhatikan lukisan hitam putih, potret dirinya. Di sudut kanan bagian bawah lukisan berukuran 50 x 75 cm tertulis jelas ‘Aku mencitainya. Ty’. Kata yang singkat, tapi selalu menganggu. Hh… dia mengeluh
Di awal percekcokannya dengan Tedy lukisan yang dibingkai rapi dengan kayu berwarna emas itu nyaris menemui ajal. Willy waktu itu tak sanggup lagi menahan perasaannya. Dia ingin melupakan Tedy, namun selalu tak bisa. Setiap kali matanya tertumbuk ke lukisan itu setiap itu pula bayangan Tedy menari di kepalanya.
Satu-satunya jalan, lukisan itu harus kuhancurkan, katanya. Mendadak timbul sesalnya, mengapa dulu dia minta Tedy, guru Kesenian itu melukis foto dirinya. Kini Tedy telah pergi. Hanya bayangannya yang selalu memenuhi kamarnya. Tubuhnya yang atletis, kumisnya yang selalu rapi, penampilannya yang selalu tampak dewasa, lentingan jarinya ketika mmetik gitar; semuanya selalu terbayang. Dan senyumnya itu… uh, Willy geli sendiri memikirkan itu semua.
“Heh, sedang apa tuh, Wil?” Diam-diam, mamanya masuk.
Willy hampir saja terperanjat. Padahal suara mamanya itu lembut sekali. Suara seorang ibu kepada anak kesayangannya.
“Ng… nggak, Ma. Anu, lukisan ini… “
“Mengapa dengan lukisan itu?” Bu Sari sebenarnya tahu kalau anaknya gugup. Tapi dia pura-pura tidak mengetahuinya.
“Lihatlah, Ma.”
Mamanya pura-pura melihat lukisan. Lalu, “Kamu memikirkan sesuatu?” Ssrr… darah Willy berdesir. Tahukah mama? Willy bertanya kepada diri sendiri.
“Tt …  tidak. “ ia menggelengkan kepala. Pelan. “Hanya melihat saja, Ma. Lukisannya cantik ya, Ma?” Willy berusaha menutupi perasaanya.
“Hm … seperti orangnya.” Ibu dari enam anak itu tersenyum renyah.
“Apakah benar Willy secantik itu, Ma?”
“Uh, malah lebih. Lebih manis dari pada lukisan itu.”
“Benar, Ma?”
“Ya benar. Coba lihat tuh ada kaca.” Bu Sari menunjuk kaca seukuran badan itu.
Willy menatap wajahnya di kaca itu. Diusapnya pipinya dengan lembut. Lalu kembali melirik lukisan itu.
“Nah, benar, kan?”
Diam sejenak. Lalu, “Mama suka lukisan itu?”
“Suka. Mengapa? Sayang, mama tidak tahu pelukisnya.”
Jantung Willy berdebar seketika. Ingin ia lari dari situ agar mamanya tidak tahu perasaan hatinya.
“Tapi … hmmm … tapi, apakah itu perlu, Ma?”
“Yo … perlu sangat, ya tidak. Hanya Mama mengagumi pelukis itu. Pasti orangnya berwibawa. Pasti juga bertanggung jawab. Lihat goresannya halus dan tak acak-acakan.” Bu Sari bagai seorang kritikus seni.
“Mama menyenangi orang itu?”
“Tentu, tentu. Mama tentu menyukainya. Dan, kalau saja anak Mama yang cantik ini belum punya tambatan hati … tuh calon mantu Mama yang namanya Tedy itu lho…”
Hati Willy terasa teriris lagi. Gadis itu tidak melihatkan reaksi.
“Lalu?” Ada wajah penasaran di wajah Willy.
“Lalu, ya … kalau dia sendiri misalnya, dan Wiwil menyukainya … tentu Mama suka dia datang ke rumah kita. Ah, tapi sudahlah. Tak usah berpikir macam-macam. Kan sudah ada Pak Guru Kesenian itu.” Ibu yang masih kelihatan cantik itu mencubit hidung anaknya.
Untuk ke sekian kali hati Willy tersayat. Kali ini mamanya yang menyayatnya. Oh Mama, kalau saja Mama tahu pelukis itu adalah Tedy … dan tahu kalau Tedy telah melumatkan hati anakmu ini, pasti Mama hancurkan lukisan itu. Tapi ah … Mama sayang, Mama tidak tahu. Willy terus saja menatap lukisan dirinya yang tengah tersenyum itu.
“Lho, kenapa? Kok melamun? Atau Wiwil marah sama Mama?”
Willy tersentak. “Bu …. Bukan. Bukan, Ma.”
“Mama ‘kan cuma bercanda.” Diam sebentar. Lalu, “Mana mungkin  Mama ikut campur urusan pribadi begituan. Itu urusan Wiwil sendiri, kan? Kalau Mama beri saran, biasanya hanya untuk kebaikan. Ya, misalnya kalau cari teman carilah yang mencintai kita. Kita pun harus sennag dia.”
Sebenarnya Willy sangat senang dinasehati begitu oleh orang tuanya. Mamanya memang sering memberi nasehat, meski tak pernah mendikte. Hanya saja, nasehat Mamanya kali ini tiba-tiba saja menyakitkan hatinya. Kalau saja bukan Mama, aku akan protes, katanya dalam hati.
“Tapi Ma, kalau orangnya tidak kita cintai, tapi suka sama kita?”
“Tergantung kita.  Cinta itu kan datangnya kemudian. Kalau bisa ya … belajar mencitainya. Asal saja dia memang cinta sama kita.”
“Apakah bisa, Ma?”
“Lihat Mama. Dulu Mama juga tak suka sama Papamu. Hanya nenek dan kakekmu saja yang setuju. Tapi karena Mama tahu Papamu itu setengah mati mencintai Mama, sampai-sampai tiap minggu dia kirim hadiah buat Mama, ya akhirnya Mama menerima. Nah lihat sekarang, kan akur-akur saja. Bahagia juga Mama,” Bu Sari membanggakan rumah tangganya yang tetap harmonis.
Willy termenung. Di hati kecilnya ada rasa galau. Kata-kata Mamanya itu membuat peperangan dahsyat di hatinya. Bayangan Trismi dan Tedy saling timbul di pelupuk matanya. Trismi Sunarya, guru Matematika itu telah lama berusaha mengobati hatinya yang luka. Trismi juga dirasakannya lebih jujur, sampai ia menceritakan luka hatinya yang disebabkan oleh pacarnya yang berbuat curang. Haruskah aku menerimanya di hatiku?
Sementara wajah Tedy tidak pernah bisa ia hapus. Apalagi jika Willy melamun di depan lukisan itu, dia tak mampu menghapus bayangan guru muda yang suka melawak itu. Dan Fadhli, sampai detik itu tidak pernah mengerti kalau Tedy telah menghancurkan hatinya. Abang sepupunya itu masih saja menyuruhnya kembali kepada Tedy.
“Kau harus melupakan saja Trismui itu, Wil.” Itu kata Fadhli berkali-kali kepadanya. Sedangkan Tedy sendiri tidak pernah memberi kata pasti kepadanya. Oh Tuhan, kenapa hukuman seberat ini yang kau timpakan kepadaku? Dosa apakah yang terlanjur aku lakukan?
“He e Wil, mengapa?”
Willy kaget untuk ke sekian kalinya. Sebutir mutiara bergulir, menghangatkan pipinya yang lembut.
“Menangis … Wiwil menangis?”
“Nggak, ehm … nggnggak, Ma.” Willy kali ini tidak mungkin menyimpan luka itu. Ibu setengah usia itu tampak mengernyitkan keningnya. Bathinnya bertanya-tanya, ada apa gerangan duka yang menimpa anak manjanya itu.

Senja telah diselimuti kabut sejak beberapa menit lalu. Di luar gelap berangsur turun. Di ufuk barat sana, warna merah jingga menyapu langit, membuat pemandangan di situ indah sekali. Willy masih menatap lukisan yang menyisakan seribu tanda tanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Merasa tak Diawasi

Tersebab tak merasa diawasi Aku bisa melakukan apapun yang aku kehendaki Merasa tak ada yang melihat gerak-gerik Aku melakukan apa saj...