Minggu, 06 Desember 2015

Dalam Kekurangan Aku Melakukan (1)

Catatanh Kegiatan Tambahan, meskipun akan cenderung subyektif tapi saya akan menulisnya seobyektif mungkin. Keyakinan saya bahwa berbohong dalam berbagi pengalaman toh akan diketahui oleh Tuhan bahkan oleh teman-teman (masyarakat) maka tiada guna demi mencari nama akan tega berdusta. Na'uzubillah, semoga Allah menghindarkan saya dari sikap itu. (Pengantar)

SETELAH menerima SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai guru di Tanjungbatu (1984) beberapa bulan selanjutnya saya langsung berangkat meninggalkan Pekanbaru, kota yang selama hampir 10 tahun saya huni,
menuntut ilmu dan belajar mandiri. SK dengan masa kerja nol tahun terhitung 01 Maret 1984, itu baru sampai ke tangan saya pada bulan September tahun yang sama. Pada bulan-bulan setelah itulah saya berangkat pertama kali ke Tanjungbatu. Meskipun nenek saya (Bansuijah) keberatan saya berangkat 'jauh' namun saya tetap meninggalkan Pekanbaru dan kampung halaman, Kabun Air Tiris. Ini panggilan tugas, kata saya dalam hati.

Tentang keberatan nenek saya, itu dapat saya maklumi. Itu ada kaitannya dengan kematian paman saya, Abdurraham (kami menyapanya,Tuok Bodu), anak laki-laki satu-satunya dari nenek saya. Tuok Bodu adalah adik kandung ibu saya, Sawai. Dia merantau sejak masih remaja ke Tanjungbatu, tepatnya di Sebele, dengan pekerjaan menyadap karet milik toke (orang China) di situ. Paman saya itu meninggal di Sebele ketika masih bujangan. Padahal setahun sebelumnya, dia sudah dicarikan jodoh oleh nenek saya. Tapi dia menolak lalu berangkat (merantau) kembali untuk tida pernah kembali lagi itu.

Mungkin nenek saya mengingat memori anak kandungnya itu, ketika saya harus berangkat ke Tanjungbatu juga. Dia pasti berpikir, saya yang bujangan --satu-satunya cucu laki-laki dari lima adik-beradik-- juga dapat bernasib sama dengan anaknya. Maka dia tidak mengizinkan saya berangkat ke Tanjungbatu. Tapi saya tetap berangkat, walaupun untuk berangkat pertama kali itu saya tidak mendapat restu (berjabat tangan) dari nenek saya.

Memang tidak langsung mengajar dan masuk kelas di akhir tahun, ketika saya menerima SK pengangkatan itu. Harus saya jelaskan bahwa waktu itu saya masih berstatus guru honorer di SMP/ SMA Nurul Falah Pekanbaru. Saya harus minta izin kepada Kepala Sekolah di Nurul Falah untuk melaporkan SK tugas saya ke SMA Negeri Tanjungbatu. Saya sudah berjanji akan kembali lagi untuk menyelesaikan tugas-tugas di Nurul Falah setelah menyampaikan surat keputusan ke Kepala Sekolah di Tanjungbatu, tempat saya akan bertugas sebagai guru baru, waktu itu. Saya sudah merencanakan, hanya melaporkan SK saja, lalu kembali ke Pekanbaru untuk menylesaikan tugas-tugas di sekolah hingga perpisahan. Baru akan kembali ke Tanjungbatu untuk mengajar sebagaimana mestinya.
Saya lalu menjadi guru PNS sejak itu. Saya ingat, ada tiga orang, kami yang datang sebagai guru di awal berdirinya SMA Negeri Tanjungbatu, waktu itu. Ada Pak Maharni dan ada Pak Ali (Ali Anwar) bersama beberapa guru yang berasal dari penduduk setempat. Kami bertiga datang dari seberang (pulau) Kundur tempat dibangunnya sekolah negeri baru itu. Saya dan Pak Ali dari Pekanbaru, Riau sementara Pak Maharni dari Sumatera Barat sana. Jadilah kami sahabat 'tiga serangkai' di awal berdirinya sekolah negeri tempat ditugaskannya kami mengabdi.

Kami bertiga menjadi lebih akrab, selain karena sama-sama merasa di rantau yang jauh dari keluarga, juga karena saya ingat baru kami bertiga yang bergelar doktorandus (drs) alias berijazah S1/ A4 sementara rekan-rekan guru lainnya baru berijazah D3/ A3. Bahkan Kepala Sekolah kami hanya bergelar BA alias sarjana muda. Rupanya status sarjana cukup membuat bangga tersendiri, waktu itu.
Mengikuti Pelatihan

Dalam kesibukan sebagai guru saya diajak oleh Pak Ambok Salima (alm) yang waktu itu sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (Ka KUA) Kecamatan Kundur untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Jika ada kesempatan menjadi khatib atau berdakwah, dia akan mengajak saya dan beberapa teman lainnya di SMA Negeri Tanjungbatu. Jika ada aktivitas keagamaan seumpama MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) Tingkat Kecamatan dia juga mengajak saya. Bahkan Pak Ambok juga memberi kesempatan kami untuk ikut berdakwa ke beberapa pulau di luar Pulau Kundur. Jujur, itulah awal mula dan pembuka jalan pertama saya terjun di kegiatan sosial di luar kesibukan tugas sekolah. Dan sejak itu pula tekad dan konsep 'dalam kekurangan saya melakukan' apapun kegiatan, terus saya buktikan. Saya sadar, pasti banyak kelemahan dan kekurangan tapi tekad telah membuat keyakinan bertambah kuat.

Tidak mudah mengikuti ajakan dan tekad itu. Bukan karena saya tidak mau. Tapi respon Kepala Sekolah saya tidak terlalu mendukung saat itu. Pak Supardjo, BA yang menjadi pimpinan sekolah saya itu benar-benar berbeda jauh cara memandangnya terhadap berbagai aktivitas saya dan beberapa teman yang berkegiatan 'sampingan' itu. Sesungguhnya kami tidak mengejar uang tambahan dalam pekerjaan tambahan ini. Harus saya tegaskan, ini semata-mata mengabdi untuk masyarkat dan agama yang kebetulan diberi rasa percaya oleh Pak KUA. Saya pun tidak meninggalkan tugas utama sebagai pendidik di sekolah karena tugas-tugas itu pada umumnya dilakukan di luar jam sekolah. Sayangnya, Pak Kepala Sekolah tetap saja tidak merestuinya. Beberapa kali saya ditanya, mengapa terlalu sibuk di luar sekolah, saya hanya menjawab bahwa saya tidak meninggalkan kewajiban sekolah. Saya benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya yang selalu mempermasalahkan aktivitas saya di luar jam sekolah.

Namun sebagai seorang yang sudah biasa berkegiatan keagamaan --baik di Pekanbaru maupun ketika masih di kampung, dulu-- saya selalu saja ikut atas 'pelawa' Pak KUA. Saya tidak pernah menolak ajakan Pak Ambok untuk berkegiatan dalam berbagai aktivitas keagamaan. Pengetahuan dan pengalaman sebagai orang yang pernah mengecap pendidikan di PGA (Pendidikan Guru Agama) Pekanbaru sebelum saya kuliah di UR (Universitas Riau) Pekanbaru, membuat saya tidak merasa canggung dalam mengemban amanah tambahan. Saya justeru merasa enjoy saja melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan 'masyarakat' itu. Meski sebenarnya merasa serba kekurangan dalam pengetahuan dan pengalaman, namun tetap saja melakukan. Jika saya anggap itu berguna untuk orang lain, saya tetap akan melakukan.
Menjadi Dewan Hakim MTQ

Sejak itulah saya terus diberi kepercayaan untuk melaksanakan berbagai kegiatan kemasyarakatan. Di luar sekolah, saya menjadi juru dakwah, menjadi juri di MTQ (Kelurahan dan Kecamatan) di Pulau Kundur bahkan pernah juga menjadi juri lomba bernyanyi selain menjadi juri dalam pertandingan sepakbola. Terasa nikmat mengemban tugas tambahan dari masyarakat itu. Tentu saja tetap menomorsatukan sekolah sebagai tanggung jawab utama. Harus saya katakan lagi bahwa saya tidak pernah mengorbankan kewajiban saya sebagai guru dalam melaksanakan tugas tambahan dalam bentuk tugas sosial kemasyarakatan itu.

Selama kurang-lebih 9 (sembilan) tahun saya mengabdi di SMA Negeri Tanjungbatu --kini bernama SMA Negeri 1 Kundur-- saya tidak pernah menolak tugas-tugas lain di luar sekolah. Alhamdulillah, justeru saya bersyukur karena diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menambah 'ibadah' selain menunaikan tugas pokok seusai di sekolah. Jujur saya akui, sesungguhnya sikap saya dalam melaksanakan amanah tambahan itu adalah untuk terus belajar dan menambah ilmu dan pengetahuan. Tekad saya, 'dalam kekurangan saya harus tetap melakukan' adalah kunci mengapa saya tidak mengeluh mendapat tugas-tugas tambahan itu.*** (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Merasa tak Diawasi

Tersebab tak merasa diawasi Aku bisa melakukan apapun yang aku kehendaki Merasa tak ada yang melihat gerak-gerik Aku melakukan apa saj...