Jumat, 21 Agustus 2015

Lagi, Duka dari Rumah Sakit Kita

UNTUK keseribu atau dua ribu atau entah untuk keberapa kali duka ini terlukis di media atau dari mulut ke mulut kita. Sudah tidak terhitung berapa kalinya. Setiap kali kita mendengar atau menyaksikan langsung, setiap itu pula dia akan berulang. Kita boleh terus mengaduh dan mengeluh, tapi duka ini akan tetap saja ada.

Suatu kali saya bercerita tentang pengalaman saya mengobat isteri saya (yang pertama) beberapa waktu dulu. Saya ingat waktu itu, dia akan melakukan pengikatan saluran rahim. Ingat saya istilah dokternya tubektomi alias sterilisasi. Isteri saya minta tindakan tubektomi pasca melahirkan anak kami yang ketiga. Waktu itu, dia benar-benar sangat menderita berat saat melahirkan Opy, anak kami itu. Dua anak kami sebelumnya memang lancar-lancar saja persalinannya. Begitu sulitnya melahirkan anak ketiga ini, dia langsung menyetujui untuk sterilisasi saja berbanding kontrasepsi lainnya selama ini. 

Sebenarnya saya juga tidak keberatan untuk program sterilisasi karena kami sudah sepakat untuk punya anak cukup tiga saja. Setelah anak ketiga kami lahir, kami memang sudah sepakat untuk distop saja. Saya ingat istilah strelisasi untuk laki-laki itu disebut vasektomi. Tapi isteri saya waktu itu justeru meminta dia saja yang diseterilkan. Jadilah dia menjalani program tubketomi itu.

Duka dan kecewa yang kami alami waktu operasi tubektomi itu adalah karena begitu rumit dan ruwetnya prosedur untuk melakukannya di rumah sakit kita. Rumah sakit Pemerintah pula. Sebagai seorang PNS yang sudah membayar asuransi kesehatan lewat gaji dalam puluhan tahun lamanya, rasanya pengalamanb pahit itu benar-benar menyakitkan.

Ternyata, rasa sakit hati dalam pengalaman operasi tubektomi itu bukan untuk yang pertama dan terakhir yang kami alami. Justseri rasa pedih yang dalam itu saya rasakan ketika pada tahun 2011, bulan April tanggal 16 sore  Sabtu itu. Saat itu saya membawa isteri saya yang koma sejak dari rumah, sekitar sepuluh menit sebelumnya. Dia tiba-tiba sesak nafas pasca solat magrib itu, dan lalu saya bersama dua anak saya membawanya ke rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari rumah kami.

Saya berharap dan begitulah seharusnya, isteri saya akan ditangani secepat yang saya harapkan mengingat dia sedang tidak siuman sejak dari rumah. Eeh, ternyata petugas di ruang UGD itu sama sekali tidak menunjukkan kegesitannya dalam bergerak dan menyambut istseri yang sudah berada di kasur kereta roda. Padahal saya tahu, isteri saya sedang berada di batas antara ada dan tiada. Mereka yang bertugas malam itu benar-benar lamban dalam bertindak. Dan isteri saya akhirnya memang menghembuskan nafas terakhirnya sore berebut malam itu. Sungguh sangat memedihkan hati saya melihat cara mereka bekerja.

Pengalaman buruk saya tidaklah cukup itu saja. Masih ada dua pengalaman lain yang saya rasakan di rumah sakit terbesar di kabupaten berazam itu. Pertama saat saya mengantarkan ibu mertua saya (isteri kedua) untuk berobat. Entah karena menggunakan kartu Askes atau karena apa, yang pasti saya merasakan langsung betapa lamanya urusan berobat itu. Mulai dari proses mendaftar hingga berjumpa dokternya, saya menilai itu keterlaluan lambannya. Lalu pengalaman kedua adalah ketika saya membawa isteri saya (yang sekarang) untuk menjalani ronxent di rumah yang sama. Subhanalloh, isteri saya harus mengalami dua kali ronxent untuk satu pemeriksaan itu. Padahal yang saya tahu, tidak boleh dua ronxen dalam waktu berdekatan. Tapi mau apa lagi? Inilah rumah sakit kita. Tidak ingin mengeluh, tapi benar-benar menyakitkan.

Di sisi lain, ketika saya berobat ke rumah sakit di luar sana, mengapa mereka begitu cepat dalam bertindak? Mengapa tidak ada alasan dokter sedang bertugas di tempat lain atau alasan dokter belum datang, seperti lazimnya alasan rumah sakit kita? Beberapa kali saya berobat dan memeriksakan badan di rumah sakit Malysia (Johor atau Malaka) misalnya, selalu saja terasa pelayannya memuaskan kita. Mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Ah, inilah rumah sakit kita.

Dan yang membuat rasa duka sekaligus melahirkan tulisan ini adalah kejadian terakhir yang dialami salah seorang siswa SLTA di Karimun, berbarengan perayaan tujuhbelasan Agustus lalu. Anak laki-laki itu mengalami kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari kendaraan roda dua di Costal Area, arena kermaian sekaligus tempat upacara tujuhbelasan. Karena  agak berat (kaki dan tangannya patah) maka oleh salah satu Ormas yang membawa anak itu ikut upacara tujuhbelasan menyarankan untuk dibawa ke Batam saja. Tentu saja maksudnya karena rumah sakit di Batam jauh lebih besar dan lebih lengkap dari pada di Karimun.

Apa yang terjadi? Hingga dua hari anak itu tidak diapa-apakan oleh dokter atau perawat di sana. Alasannya sangat memilukan, karena orang tuanya tidak mampu menunjukkan biaya. Tersebab pensiunan Bea Cukai itu hanya membawa kartu Askes yang katanya sudah mati, maka tertahanlah pasien itu hingga dua hari. Oleh pihak rumah sakit kita, bapak pensiunan itu disuruh mengurus BPJS untuk mendapatkan kartu. Sungguh kebijakan yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Tidakkah sebaiknya pesien itu ditangani terlebih dahulu? Masalah duit boleh diselesaikan setelah tindakan yang berkategori darurat itu.

Sekali lagi, inilah rumah sakit kita. Selalu saja meninggalkan luka duka di hati rakyatnya. Tidak seharusnya kita bercerita jeleknya rumah sakit kita. Tapi jika didiamkan, para dokter, para perawat atau pejabat yang mengurus rumah sakit kita itu tidak akan pernah tahu keluhan rakyatnya. Semoga catatan kecil ini tidak disalahkan. Lihatlah secara positif.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...