SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, tahun ini guru kembali memperingati
Hari Ulang Tahun (HUT) kelahirannya. Pendidik atawa guru, melalui wadah PGRI
(Persatuan Guru Republik Indonesia) akan terus memperingati catatan kelahiran
organisasi insan bergelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu. PGRI yang diakui dan
dikukuhkan terlahir ke bumi Indonesia sejak 25 November 1945, setiap tahunnya
selalu diperingati pada tanggal keramat itu sebagai hari sakti guru Indonesia.
Tahun 2014 ini guru Indonesia akan berulang tahun untuk yang
ke-69 kali. Usia sebegitu lama yang seharusnya sudah berkategori sangat
tua. Bukan hanya sekadar sudah dewasa. Dari satu generasi ke generasi
berikutnya, guru terus melanjutkan perjuangannya sebagai agen perubahan. Peran
guru sebagai pengajar sekaligus pendidik terus diemban dalam berbagai rona
keadaan.
PGRI yang lahir melalui peristiwa bersejarah 69 tahun lalu
tidak terjadi begitu saja. Bermula dari kebutuhan perjuangan kemerdekaan bangsa
yang terjajah jauh sebelum datangnya kemerdekaan, di relung hati para guru ikut
tumbuh rasa persatuan dan kesatuan untuk perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Di
zaman Hindia Belanda, sejarah mencatat, guru bahkan sudah memiliki wadah
berorganisasi yang bernama PGHB, singkatan dari Persatuan Guru Hindia Belanda.
Mereka memang merupakan gabungan guru-guru desa yang berada di sekolah desa dan
sekolah rakyat waktu itu.
Dan selain PGHB, dalam sejarah guru juga kita baca ada
beberapa organisasi guru lain seperti PGB (Persatuan Guru Bantu), PGD
(Perserikatan Guru Desa), PGAs (Persatuan Guru Ambachtsschool), PNs
(Persatuan Normaalschool) dan beberapa lagi yang lainnya yang disesuaikan
dengan perbedaan keadaan dan kebutuhannya. Perjuangan terus-menerus dari para
guru, ini adalah bukti adanya kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan
terutama untuk memperjuangkan persamaan hak dan poisi dengan penjajah waktu
itu.
Sejarah menjelaskan, pada tahun 1932 ketika intensitas dan
kualitas perjuangan bangsa ini kian tinggi, nama PGHB diubah menjadi PGI
(Persatuan Guru Indonesia) yang ternyata tidak disenangi Belanda karena
menggunakan kata ‘Indonesia’ yang bagi guru itu adalah jiwa dan semangat
perjuangan. Namun demikian, wadah ini tetap eksis hingga dibredelnya oleh
penjajah Jepang bersamaan kebijakan Jepang yang membekukan
organisasi-oraganisasi dan sekolah-sekolah yang ada.
Proklamasi Kemerdekaan –17.08.45– telah menjadi tonggak baru
perjuangan guru Indonesia. Dengan semangat 17-08-45 para insan mulia ini
mengadakan kongres bersejarahnya di Surakarta seratus hari pasca prokalamasi
monumental itu. Kongres Guru Indonesia itu dicatat sejarah terjadi pada 24-25
November 1945. Dan pada hari kedua kongres itulah disepakati dan didirikannya
PGRI yang menggabungkan seluruh organisasi guru waktu itu. Bermulalah era perjuangan
guru di bawah wadah PGRI.
Dalam sejarah PGRI dijelaskan bahwa ada tiga tujuan yang
‘dipekikkan’ para pahlawan pendidikan bersama pekikan ‘merdeka’ ketika RRI
Surakarta dibombardir tentara Inggeris. Ketiga tujuan itu adalah, 1)
Mempertahankan dan menyempurnakan RI; 2) Mempertinggi tingkat pendidikan dan
pengajaran sesuai dasar-dasar kerakyatan; dan 3) Membela hak dan nasib buruh
umumnya, guru khususnya. PGRI benar-benar dijadikan wadah penguat jati diri
guru khususnya dan diharapkan akan mampu pula melahirkan generasi terdidik yang
mempunyai jati diri yang kuat juga. Inilah sari pati tanggung jawab guru yang
mesti terus-menerus diperjuangkan melalui PGRI.
Eksistensi PGRI sebagai wadah perjuangan pendidikan
sepanjang masa, telah membuat pemerintah memberikan penghormatan khusus kepada
PGRI dengan ditetapkannya hari lahir PGRI itu sebagai Hari Guru Nasional (HGN)
terhitung sejak dikeluarkannya Kepres No 78/ 1994. Kini, setiap tanggal kramat
itu, para guru Indonesia memperingati lahirnya PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Saat ini sebagian perjuangan guru sudah mampu terwujudkan.
Lahirnya Undang-undang No 14/ 2005 tentang Guru dan Dosen setelah sebelumnya
juga sudah ada Undang-undang Sisdiknas adalah sebagian keinginan terwujdunya
perjuangan guru selama ini. Sebagian guru bahkan juga sudah merasakan
kesejahteraan yang memadai dengan diberlakukannya program sertifikasi guru
sejak tahun 2007 lalu sebagai implementasi undang-undang tersebut.
Bahwa perjuangan guru belumlah selesai, itu adalah fakta
yang ada dan itu adalah perjuangan lanjutan yang tidak boleh dihentikan. Riuh rendah,
pro kontra impelementasi Kurikulum 2013 (K13) yang menyebabkan guru bagaikan
terbelah-belah, mestinya menjadi fokus PGRI untuk melanjutkan perjuangan. Mustahil
kegaduhan penerapan K13 itu akan benar-benar menghasilkan pendidikan yang
bermutu untuk bangsa dan generasi ke depan. Padahal ada yang lebih penting untuk dipikirkan PGRI, bagaimana menjadikan guru sebagai pengelola pembelajaran yang menginspirasi siswa.
PGRI
sebagai organisasi profesi sudah seharusnya menjadi wadah penguat jati diri
guru itu sendiri dalam fungsi dan tanggung jawabnya sekaligus juga untuk
penguat jati diri anak bangsa. Integritas guru sebagai pejuang dan pelaksana
pendidikan harus tetap dikobarkan menuju masyarakat yang cerdas, mandiri dan
berkesejahteraan. PGRI tidak pantas untuk mengiyakan saja semua kebijakan
pemegang teraju pendidikan, jika kebijakan itu ternyata tidak sesuai dengan ruh
guru itu sendiri. Mari dijadikan, HUT PGRI tahun ini sebagai tonggak penting
untuk meluruskan langkah bersama demi pendidikan anak-cucu kita. Guru yang menginspirasi adalah kata kuncinya. Dirgahayu, PGRI.
Berjuanglah, Guru! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar