Minggu, 13 Juli 2014

Semangat Shaf 'Panas Tahi Ayam'

Salah Satu Masjid di Meral
ISTILAH panas, panas tahi ayam adalah ungkapan kepada keadaan yang kehebatannya hanya sebentar saja. Tidak bertahan lama. Ungkapan ini dimaksudkan untuk menyebut sesuatu yang tidak baik karena tidak konsisten meskipun di awalnya seolah-olah baik.


Semangat shaf 'panas tahi ayam' yang saya pakai sebagai titel tulisan ini maksudnya adalah keadaan bersemangatnya jumlah shaf ketika solat berjamaah namun hanya bertahan beberapa sat saja. Dan solat berjamaah yang saya maksud lebih sepesifik kepada solat tarwih yang pada hari-hari ini sudah memasuki separoh dari bulan Ramadhan 1435 itu. Di separoh bulan inilah tiba-tiba hati saya mendesah risau, mengapa belum separoh jumlah jamaah tarwihnya sudah jauh berkurang?

Saya ingat dua pekan lalu, ketika malam-malam awal digelarnya solat tarwih di musolla atau masjid, betapa ramai dan penuhnya musolla atau masjid. Baik masjid di tempat saya tinggal maupun masjid-masjid yang kebetulan saya kunjungi karena mendapat giliran bertausiah sesuai jadwal. Hampir semua musola atau masjid, waktu itu penuh-sesak oleh umat untuk berjamaah tarwih. Sangat membanggakan dan mengharukan. Setahun lalu di awal-awal Ramadhan masyarakat memenuhi musolla atau masjid, dan baru setahun berikutnya lagi masjid atau musolla itu terasa kecil dan sempit waktu itu. Rasanya senang sekali melihat penuh-sesaknya tempat-tempat solat berjamaah.

Para penceramah yang silih berganti datang tentu saja sangat bangga dan mengapresiasi jamaah yang membludak hingga ke teras atau kaki lima masjid atau musolla. Kita saling membanggakan dan saling memberi semangat atas begitu penbuhnya masjid atau musolla. Shaf-shaf yang di hari-hari biasa hanya terisi di barisan pertama, kini hingga tiada lagi ruang kosong. Umat berjubel di dalam masjid.

Tapi ternyata itu hanya bertahan satu pekan. Hari-hari berikutnya pelan dan pasti jumlah jamaah kian surut. Beberapa masjid yang saya kunjungi ternyata sama dengan masjid di sekita rumah saya. Shaf belakang yang kemarin dipenuhi jamaah, kini sudah mulai lowong. Dan pada malam-malam menjelang dua pekan ini, ternyata jumlah jamaah terus berkurang. Itulah sebabnya catatan ini meluncur di hadapan Anda, pembaca.

Saya heran, mengapa berkah dan maghfirah Ramadhan yang dijanjikan Allah tidak cukup memotivasi jamaah untuk terus bertahan. Hanya satu bulan Ramadhan ini. Satu bulan saja. Mengapa tidak sabar? Ah, mungkin setiap individu memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Pahala dan ampunan dosa yang dijanjikan bolehg jadi tidak cukup menarik. Jangan-jangan, kemarin-kemarin itu hanya karena ikut-ikutan saja, entahlah.

Tapi sejatinya, di luar pahala dan ampunan dosa yang dijanjikan Allah, jamaah dapat memanfaatkan sholat berjamaah di bgulan puasa ini untuk lebgih menimngkatkan silaturrahim sesama muslim. Bukankah kata Allah bahwa orang-orang mukmin itu adalah bersaudara? Dan kesempatan mempererat tali persaudaraan seharusnya adalah dalam bulan yang mulia ini. Tapi mengapa shaf terus berkurang? Memang benarlah ungkapan di atas bahwa ramainya jamaah di awal Ramadhan hanya sekadar panas panas tahi ayam. Hanya panas ketika saat keluar saja. Setelah itu sudah langsung sejuk. Haruskah kenyataan ini dibiarkan terus?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...