JIKA membaca aneka statemen dan komentar yang mengikutinya, 'kompetisi'
Pilpres yang menampilkan hanya dua kandidat --Prabowo dan Jokowi-- pada 9 Juli
2014 lalu seperti akan berujung pada permusuhan 'berjangka lama' antara
keduanya. Meskipun nuansa 'permusuhan' itu lebih banyak disebabkan oleh
mulut-mulut usil orang-orang di sekitar keduanya, namun kita membaca di media
massa serasa Prabowo dan Jokowi tidak lagi akan bisa didamaikan. Berita-berita
dan komentar pra Pilpres itu bagaikan berita menjelang laga Muhammad Ali kontra
Joe Frazier 1975 lalu.
Belum tentu juga Prabowo memusuhi Jokowi atau sebaliknya. Tapi komentar para
pendukung dan atau tim pemenangan keduanya, cukup memerahkan telinga orang
luar. Yang berdiri netral di antara kedua kubu merasakan betapa seolah-olah
mantan Danjen Kopassus itu akan melabrak Wako Solo itu. Jokowi sendiri dengan
gaya lembutnya juga dikonotasikan oleh para pendukungnya seolah-olah akan
menjauhi Prabowo.
Riak dan legu-legah tafsir permusuhan Prabowo dengan Jokowi juga
dikait-kaitkan dengan karakter Megawati, sang arsitek majunya Jokowi menjadi
capres. Selama ini masyarakat memang mengimejkan Mega sebagai tokoh pendendam.
Mungkin saja penafsiran ini dikarenakan putusnya hubungan Megawati yang mantan
presiden dengan SBY yang mantan pembantunya karena Mega yang tidak mau. Tidak
tersambungnya hubungan itu juga dianggap masyarakat karena Mega yang keras dan
tidak mau menyambungkan kembali tali komunikasi yang terputus itu.
Ketika aneka kampanye hitam ditumbuhsuburkan kedua kubu terhadap lawan
kompetisi Pilpresnya menjelang Pilpres lalu, tensi permusuhan kedua capres
seolah-olah sampai ke level yang sangat membahayakan. Menangisnya Mega ketika
menggelar konfresnsi pers menyambut pengumuman kemenangan Jokowi-Jk versi quick
kount 9 Juli lalu juga diartikan sebagai pelampiasan emosi tingkat tinggi
terhadap kesuksesan pengajuan nama Jokowi oleh PDIP. Lewat air mata emosional
itu juga seolah terkirimkan pesan bahwa kubu Jokowi akan menunjukkan
kehebatannya. Dan tensi permusuhan dengan Prabowo tidak akan mudah reda begitu
saja.
Kini Ramadhan sudah berlalu dan Syawal sudah tiba. Hari fitri yang
mengandung makna kembalinya muslim ke asal kesuciannya ketika lahir ke bumi
tidak pantas untuk dinodai lagi. Bulan mulia pelembut amarah itu telah menempa
umat muslim tanpa perbedaan warna kulit, suku, ras atau asal-usul daerah
sebulan penuh. Hanya takwa sajalah yang akan membuat muslim berbeda di hadapan
Tuhan. Prabowo dan Jokowi yang notabene adalah muslim tentu memahami faedah
keberadaan bulan puasa. Tapi apakah keduanya akan merasa bersatu lagi seperti
jauh hari sebelum keduanya dicalonkan partai untuk menjadi calon presiden
2014-2019? Inilah pertanyaan kita sebagai masyarakat biasa.
Ketika keduanya masih saling berebut simpati baik sebelum maupun selama masa
kampanye, boleh saja masyarakat saling berbeda pilihan dan pandangan. Bahkan
tidak mustahil, di level akar rumput juga muncul permusuhan karena
mempertahankan pilihan calon presiden. Itu semua sudah dilewati. Saat ini,
sambil menanti hasil gugatan pihak Prabowo di MK, masyarakat sudah dapat
menerima hasil Pilpres yang diumumkan oleh KPU itu. Jikapun nanti MK membuat
keputusan yang berbeda dengan KPU karena memandang ada fakta yang dapat mengubah
keputusan itu, masyarakat pun akan mampu menerimanya. Permusuhan tidak perlu
lagi.
Maka tidak berlebihan masyarkat berharap kiranya Prabowo- Jokowi dapat
bersatu demi bangsa dan rakyat bangsanya. Salah satu pihak boleh saja tidak
menjadi pemegang tampuk pemerintahan namun menguburkan permusuhan adalah
keharusan. Jika permusuhan tetap dipertahankan, tentu saja bangsa dan rakyat
yang akan menjadi korban. Dan persatuan yang kita harapkan tentu saja tidak
hanya sebagai pemanis bibir belaka. Persatuan itu wajib menjadi bagian dari
perasaan masing-masing kubu. Perasaan bersatu dengan pemikiran yang cerdas
itulah yang akan membuat bangsa dan rakyat Indonesia akan maju pesat dan
mandiri serta akan dihargai oleh bangsa lain. Semoga!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar