Kamis, 31 Juli 2014

Bisakah Prabowo dan Jokowi (Merasa) Bersatu (lagi)?

JIKA membaca aneka statemen dan komentar yang mengikutinya, 'kompetisi' Pilpres yang menampilkan hanya dua kandidat --Prabowo dan Jokowi-- pada 9 Juli 2014 lalu seperti akan berujung pada permusuhan 'berjangka lama' antara keduanya. Meskipun nuansa 'permusuhan' itu lebih banyak disebabkan oleh mulut-mulut usil orang-orang di sekitar keduanya, namun kita membaca di media massa serasa Prabowo dan Jokowi tidak lagi akan bisa didamaikan. Berita-berita dan komentar pra Pilpres itu bagaikan berita menjelang laga Muhammad Ali kontra Joe Frazier 1975 lalu.

Belum tentu juga Prabowo memusuhi Jokowi atau sebaliknya. Tapi komentar para pendukung dan atau tim pemenangan keduanya, cukup memerahkan telinga orang luar. Yang berdiri netral di antara kedua kubu merasakan betapa seolah-olah mantan Danjen Kopassus itu akan melabrak Wako Solo itu. Jokowi sendiri dengan gaya lembutnya juga dikonotasikan oleh para pendukungnya seolah-olah akan menjauhi Prabowo.
Riak dan legu-legah tafsir permusuhan Prabowo dengan Jokowi juga dikait-kaitkan dengan karakter Megawati, sang arsitek majunya Jokowi menjadi capres. Selama ini masyarakat memang mengimejkan Mega sebagai tokoh pendendam. Mungkin saja penafsiran ini dikarenakan putusnya hubungan Megawati yang mantan presiden dengan SBY yang mantan pembantunya karena Mega yang tidak mau. Tidak tersambungnya hubungan itu juga dianggap masyarakat karena Mega yang keras dan tidak mau menyambungkan kembali tali komunikasi yang terputus itu.

Ketika aneka kampanye hitam ditumbuhsuburkan kedua kubu terhadap lawan kompetisi Pilpresnya menjelang Pilpres lalu, tensi permusuhan kedua capres seolah-olah sampai ke level yang sangat membahayakan. Menangisnya Mega ketika menggelar konfresnsi pers menyambut pengumuman kemenangan Jokowi-Jk versi quick kount 9 Juli lalu juga diartikan sebagai pelampiasan emosi tingkat tinggi terhadap kesuksesan pengajuan nama Jokowi oleh PDIP. Lewat air mata emosional itu juga seolah terkirimkan pesan bahwa kubu Jokowi akan menunjukkan kehebatannya. Dan tensi permusuhan dengan Prabowo tidak akan mudah reda begitu saja.

Kini Ramadhan sudah berlalu dan Syawal sudah tiba. Hari fitri yang mengandung makna kembalinya muslim ke asal kesuciannya ketika lahir ke bumi tidak pantas untuk dinodai lagi. Bulan mulia pelembut amarah itu telah menempa umat muslim tanpa perbedaan warna kulit, suku, ras atau asal-usul daerah sebulan penuh. Hanya takwa sajalah yang akan membuat muslim berbeda di hadapan Tuhan. Prabowo dan Jokowi yang notabene adalah muslim tentu memahami faedah keberadaan bulan puasa. Tapi apakah keduanya akan merasa bersatu lagi seperti jauh hari sebelum keduanya dicalonkan partai untuk menjadi calon presiden 2014-2019? Inilah pertanyaan kita sebagai masyarakat biasa.

Ketika keduanya masih saling berebut simpati baik sebelum maupun selama masa kampanye, boleh saja masyarakat saling berbeda pilihan dan pandangan. Bahkan tidak mustahil, di level akar rumput juga muncul permusuhan karena mempertahankan pilihan calon presiden. Itu semua sudah dilewati. Saat ini, sambil menanti hasil gugatan pihak Prabowo di MK, masyarakat sudah dapat menerima hasil Pilpres yang diumumkan oleh KPU itu. Jikapun nanti MK membuat keputusan yang berbeda dengan KPU karena memandang ada fakta yang dapat mengubah keputusan itu, masyarakat pun akan mampu menerimanya. Permusuhan tidak perlu lagi.

Maka tidak berlebihan masyarkat berharap kiranya Prabowo- Jokowi dapat bersatu demi bangsa dan rakyat bangsanya. Salah satu pihak boleh saja tidak menjadi pemegang tampuk pemerintahan namun menguburkan permusuhan adalah keharusan. Jika permusuhan tetap dipertahankan, tentu saja bangsa dan rakyat yang akan menjadi korban. Dan persatuan yang kita harapkan tentu saja tidak hanya sebagai pemanis bibir belaka. Persatuan itu wajib menjadi bagian dari perasaan masing-masing kubu. Perasaan bersatu dengan pemikiran yang cerdas itulah yang akan membuat bangsa dan rakyat Indonesia akan maju pesat dan mandiri serta akan dihargai oleh bangsa lain. Semoga!*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...